Datauntuk penelitian berupa diksi dalam kumpulan puisi karya Sapardi Djoko Damono. Data dianalisis secara struktur dan diksi. Hasil analisis tersebut kemudian diimplementasikan sebagai bahan ajar sastra. 3.1 Struktur Puisi Karya Sapardi Djoko Damono 3.1.1 Pada Suatu Hari Nanti pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi
DjokoDamono. (2) Mendeskripsikan penggunaan citraan kumpulan puisi Ayat-Ayat Api karya Sapardi Djoko Damono. Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam tesis ini berupa kata, ungkapan, dan kalimat dalam kumpulan puisi Ayat-Ayat Api karya Sapardi Djoko Damono.Teknik pengumpulan data dilakukan dengan teknik pustaka, simak, dan
Thesource of research data is Suti's novel by Sapardi Djoko Damono. The data in this study are excerpts of dialogue and narration in Suti's novel by Sapardi Djoko Damono. Data analysis techniques were carried out in stages according to Miles and Huberman with steps including: (1) data reduction stages; (2) data presentation stage; (3
junisapardi djoko damono, analisis puisi pada suatu hari nanti karya sapardi djoko, kumpulan puisi karya sapardi djoko damono bagian 1, sapardi aku ingin menulis sastra dengan sederhana, 6 puisi cinta sapardi djoko damono ini bakal bikin kamu baper, kumpulan puisi sapardi djoko damono was was com,
Penelitianini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) jenis gaya bahasa; (2) jenis nilai moral; dan (3) relevansi hasil temuan kumpulan puisi Ayat-Ayat Api karya Sapardi Djoko Damono sebagai bahan ajar sastra di sekolah menengah atas. Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendeketan stilistika.
ChrisnandaFiandari. NIM 12210173003. Gaya Bahasa Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni Karya Sapardi Djoko Damono dan Implementasinya terhadap Penulisan Puisi Siswa Kelas VIII di SMP Negeri 1 Gandusari Tahun Pelajaran 2020/2021.Jurusan Tadris Bahasa Indonesia, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Pembimbing: Muyassaroh, S.S.‚ M.Pd. Kata Kunci: Gaya bahasa, Penulisan Puisi, Implementasi.
BahasaKumpulan Puisi Melipat Jarak Karya Sapardi Djoko Damono dan Implikasinya dalam Pembelajaran Menulis Puisi di Madrasah Aliyah Negeri 1 Trenggalek'. Kesimpulan yang diambil terkait gaya bahasa yang muncul pada kumpulan puisi Melipat Jarak adalah gaya bahasa perbandingan, gaya bahasa pertentangan, gaya bahasa pertautan‚ dan gaya
dalamkumpulan DukaMu Abadi karya Sapardi Djoko Damono 5. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan: 1) Bagi peneliti Dari hasil penelitian ini, peneliti di samping dapat menemukan rima dan enjambemen puisi-puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi DukaMu Abadi karya Sapardi Djoko Damono, juga peneliti merasakan nilai keindahan
kumpulanpuisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono ini sudah mampu digunakan sebagai sumber belajar pada pembelajaran menulis puisi dan gaya bahasa di sekolah SMP. 2. Gaya bahasa yang terdapat dalam kumpulan puisi Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono memiliki implementasi terdahap pembelajaran menulis puisi siswa.
ByDestiara Cahaya On Senin, Januari 20th, 2014 Categories : Puisi. Kumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono - Sapardi Djoko Damono merupakan maestro puisi yang sangat handal, puisi-puisi nya begitu menyentuh dan dengan kata-kata yang sederhana namun mampu memiliki arti yang dalam. Beliau lahir di surakarta 73 tahun silam tepatnya 20 maret 1940.
Penelitianini memiliki judul "Analisis Relasi Makna pada Kumpulan Puisi Masih Ingatkah Kau Jalan Pulang Karya Sapardi Djoko Damono & Rintik Sedu sebagai Alternatif Bahan Ajar Bahasa Indonesia untuk Kelas X SMA". Penelitian ini bertujuan untuk menciptakan bahan ajar yang inovatif, khususnya pada pembelajaran puisi yang tentunya berdasarkan
SapardiDjoko Damono Kumpulan Puisi Dari 10 Pengarang Puisi Terkenal Di. KLIBF Kuala Lumpur International Book Fair. Gadjah Mada University September 25th, 2017 - Berdasarkan Novel HUJAN BULAN JUNI Karya Sapardi Djoko Damono Pingkan Velove Vexia Dosen Muda Sastra Jepang Universitas Indonesia Mendapat Kesempatan Belajar Ke Jepang Selama 2
Diusianya yang senja, ia masih tetap produktif melahirkan puisi-puisi. Penyair legendaris Indonesia tersebut, meninggal dunia pada, Minggu (19/7/2020) di Rumah Sakit Eka Hospital BSD, Tangerang Selatan. Berikut puisi-puisi terbaik Sapardi Djoko Damono: Baca juga: 5 Buku Terbaik Sapardi Djoko Damono. Hujan Bulan Juni; Tak ada yang lebih tabah
BukuKumpulan Puisi Sapardi Djoko Damono Pdf KT Puisi from ktpuisi.blogspot.com. Analisis puisi pada suatu pagi hari karya sapardi djoko damono dari aspek makna | 803 mengetahui perbedaan unsur intrinsik lainnya seperti novel, cerpen,dan drama. Program studi pendidikan bahasa indonesia. Dimensi tema cerpen "pengarang telah mati" karya
Fifth the findings of a collection of poems by Namaku Sita by Sapardi Djoko Damono are relevant and can be used as Indonesian Language teaching materials in high school, especially class X in KD 3.17 about analyzing poetry building elements according to the material / content, presentation, and linguistic criteria.
r1cEXA. Ilustrasi. Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, salah satunya Hujan Bulan Juni CNNIndonesia/Fajrian Jakarta, CNN Indonesia - Puisi Sapardi Djoko Damono memiliki tempat tersendiri di hati para penggemarnya. Meski beberapa puisinya sederhana dan singkat, tetapi karya-karyanya tersebut punya makna mendalam dan menyentuh hati. Salah satu puisi Sapardi yang terkenal berjudul Hujan Bulan Juni. Selain itu, masih ada beberapa karyanya yang tak lekang oleh waktu. Beberapa di antaranya adalah Duka-Mu Abadi, Yang Fana adalah Waktu, Perahu Kertas, Hatiku Selembar Daun, Sihir Hujan, Sajak Kecil tentang Cinta, dan masih banyak lagi. Sejumlah puisinya juga telah banyak digubah menjadi lagu atau dimusikalisasi sehingga membuatnya makin populer dikenal di kalangan anak muda. Puisi Sapardi Djoko Damono Ilustrasi. Kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono, salah satunya Hujan Bulan Juni CNN Indonesia/Safir Makki Dihimpun dari berbagai sumber, berikut kumpulan puisi dari sastrawan kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940 ini. 1. Duka-Mu Abadi Dukamu adalah dukakuAir matamu adalah air matakuKesedihan abadimuMembuat bahagiamu sirnaHingga ke akhir tirai hidupmuDukamu tetap abadi Bagaimana bisa aku terokai perjalanan hidup iniBerbekalkan sejuta dukamuMengiringi setiap langkahkuMenguji semangat jitukuKarena dukamu adalah dukakuAbadi dalam duniaku! Namun dia datangMeruntuhkan segala penjara rasaMembebaskan aku dari derita iniDukamu menjadi sejarah silamDasarnya 'ku jadikan asasMembangunkan semangat baruBiar dukamu itu adalah dukakuTindakanku biarkan ia menjadi pemusnahku! 2. Sementara Kita Saling Berbisik Sementara kita saling berbisikuntuk lebih lama tinggalpada debu, cinta yang tinggal berupabunga kertas dan lintasan angka-angka Ketika kita saling berbisikdi luar semakin sengit malam harimemadamkan bekas-bekas telapak kaki,menyekap sisa-sisa unggun api sebelum fajar Ada yang masih bersikeras abadi 3. Yang Fana adalah Waktu Kita abadi memungut detik demi detikmerangkainya seperti bungasampai pada suatu harikita lupa untuk apa "Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?" tanyamuKita abadi 4. Perahu Kertas Waktu masih kanak-kanak kau membuat perahu kertasdan kau layarkan di tepi kali; alirnya sangat tenangdan perahumu bergoyang menuju lautan. "Ia akan singgah di bandar-bandar besar," kata seorang lelaki sangat gembira, pulang dengan berbagai gambar warna-warni di kepala. Sejak itu kau pun menunggu kalau-kalau ada kabar dari perahu yang tak pernah lepas dari rindumu itu. Akhirnya kau dengar juga pesan si tua itu, Nuh, katanya,"Telah kupergunakan perahumu itu dalam sebuah banjir besar dan kini terdampar di sebuah bukit" 5. Hatiku Selembar Daun Hatiku selembar daun melayang jatuh di rumputnanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di siniada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luputsesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi. 6. Sihir Hujan Hujan mengenal baik pohon, jalan,dan selokan - suaranya bisa dibeda-bedakan;kau akan mendengarnya meski sudah kau tutup pintu dan sudah kau matikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuhdi pohon, jalan dan selokan -menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduhwaktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan 7. Aku Ingin Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abu Aku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiada 8. Pada Suatu Hari Nanti Pada suatu hari nanti,jasadku tak akan ada lagi,tapi dalam bait-bait sajak ini,kau tak akan kurelakan sendiri Pada suatu hari nanti,suaraku tak terdengar lagi,tapi di antara larik-larik sajak akan tetap kusiasati, Pada suatu hari nanti,impianku pun tak dikenal lagiNamun di sela-sela huruf sajak ini,kau tak akan letih-letihnya kucari 9. Hujan Bulan Juni Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Junidirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Junidihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Junidibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu 10. Sajak Kecil tentang Cinta Mencintai angin harus menjadi siutMencintai air harus menjadi ricikMencintai gunung harus menjadi terjalMencintai api harus menjadi jilat Mencintai cakrawala harus menebas jarakMencintaimu harus menjelma aku 11. Sajak Tafsir Kau bilang aku burung?Jangan sekali-kali berkhianatkepada sungai, ladang, dan batu. Aku selembar daun terakhiryang mencoba bertahan di rantingyang membenci angin. Aku tidak suka membayangkankeindahan kelebat dirikuyang memimpikan tanah,tidak mempercayai janji api yang akanmenerjemahkanku ke dalam bahasa abu. Tolong tafsirkan aku sebagai daun terakhiragar suara angin yang meninabobokanranting itu padam. Tolong tafsirkan aku sebagai hasratuntuk bisa lebih lama bersamamu. Tolong ciptakan makna bagiku,apa saja - aku selembar daun terakhiryang ingin menyaksikanmu bahagiaketika sore tiba. 12. Ia Tak Pernah Ia tak pernah berjanji kepada pohonuntuk menerjemahkan burungmenjadi api Ia tak pernah berjanji kepada burunguntuk menyihir apimenjadi pohon Ia tak pernah berjanji kepada apiuntuk mengembalikan pohonkepada burung Itulah kumpulan puisi Sapardi Djoko Damono yang populer. Semoga bermanfaat! juh
Sapardi Djoko Damono. Foto Instagram/damonosapardi Jakarta - Sastrawan Sapardi Djoko Damono menapaki usia ke-80 tahun, tepat pada hari ini, Jumat, 20 Maret 2020. Penyair senior itu terbilang masih produktif di umurnya yang kian senja, seolah memang waktu adalah fana, sementara ia dan karyanya akan lahir di Surakarta, 20 Maret 1940, sepanjang kariernya ia dikenal sebagai pujangga yang menuliskan hal-hal sederhana namun penuh makna kehidupan. Karyanya yang paling terkenal antara lain Hujan di Bulan Juni yang sempat diejawantahkan ke layar lebar, serta puisi romantis berjudul Aku Tagar rangkumkan sepuluh puisi fenomenal dari Sapardi Djoko DamonoIlustrasi hujan. Foto Antara/Aloysius Jarot Nugroho1. Hujan Bulan JuniTak ada yang lebih tabahdari hujan bulan JuniDirahasiakannya rintik rindunyakepada pohon berbunga ituTak ada yang lebih bijakdari hujan bulan JuniDihapusnya jejak-jejak kakinyayang ragu-ragu di jalan ituTak ada yang lebih arifdari hujan bulan JuniDibiarkannya yang tak terucapkandiserap akar pohon bunga ituAwan mendung terlihat dari kawasan Pluit, Jakarta, Kamis 9/1/2020. Foto Antara/Aprillio Akbar2. Aku InginAku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan kata yang tak sempat diucapkankayu kepada api yang menjadikannya abuAku ingin mencintaimu dengan sederhanadengan isyarat yang tak sempat disampaikanawan kepada hujan yang menjadikannya tiadaDaun ulin. Foto Hatiku Selembar DaunHatiku selembar daunmelayang jatuh di rumputNanti dulubiarkan aku sejenak terbaring di siniada yang masih ingin kupandangyang selama ini senantiasa luputSesaat adalah abadisebelum kausapu tamanmu setiap pagiJam tangan Microbrand, Foto Timeindo4. Yang Fana Adalah WaktuYang fana adalah waktu. Kita abadimemungut detik demi detik, merangkainya seperti bungasampai pada suatu harikita lupa untuk apa“Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamuKita abadiilustrasi hujan sangat lebat. Foto pixabay5. Kuhentikan HujanKuhentikan hujanKini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi perlahanAda yang berdenyut dalam dirikuMenembus tanah basahDendam yang dihamilkan hujanDan cahaya matahariTak bisa kutolakMatahari memaksaku menciptakan bunga-bungaRuang tunggu di Bandara Soekarno Hatta Soetta yang sudah dilakukan pembatasan sosial. Foto Tagar/Selly6. Ruang TungguAda yang terasa sakitdi pusat perutnyaIa pun pergi ke dokterbelum ada seorang pun di ruang tungguBeberapa bangku panjang yang kosongtak juga mengundangnya dudukIa pun mondar-mandir sajamenunggu dokter memanggilnyaNamun mendadak seperti didengarnyasuara yang sangat lirihdari kamar periksaAda yang sedang menyanyikanbeberapa ayat kitab suciyang sudah sangat dikenalnyaTapi ia seperti takut mengikutinyaseperti sudah lupa yang manamungkin karena ia masih inginsembuh dari sakitnyaIlustrasi . Foto Johan Hultin/ Pada Suatu Hari NantiPada suatu hari nantiJasadku tak akan ada lagiTapi dalam bait-bait sajak iniKau tak akan kurelakan sendiriPada suatu hari nantiSuaraku tak terdengar lagiTapi di antara larik-larik sajak iniKau akan tetap kusiasatiPada suatu hari nantiImpianku pun tak dikenal lagiNamun di sela-sela huruf sajak iniKau tak akan letih-letihnya kucariilustrasi. Foto Angie Busch Alston/ HanyaHanya suara burung yang kau dengardan tak pernah kaulihat burung itutapi tahu burung itu ada di sanaHanya desir angin yang kaurasadan tak pernah kaulihat angin itutapi percaya angin itu di sekitarmuHanya doaku yang bergetar malam inidan tak pernah kaulihat siapa akutapi yakin aku ada dalam dirimuIlustrasi kolam. Foto Menjenguk Wajah di KolamJangan kau ulang lagimenjenguk wajah yang merasasia-siayang putihyang pasiituJangan sekali- kali membayangkanWajahmu sebagai rembulanIngatjangan sekali-kaliJanganBaik, TuanIlustrasi. Foto Pixabay10. Sajak TafsirKau bilang aku burung?Jangan sekali-kali berkhianatkepada sungai, ladang, dan batuAku selembar daun terakhiryang mencoba bertahan di rantingyang membenci anginAku tidak suka membayangkankeindahan kelebat dirikuyang memimpikan tanahtidak mempercayai janji api yang akan menerjemahkankuke dalam bahasa abuTolong tafsirkan akusebagai daun terakhiragar suara angin yang meninabobokanranting itu padamTolong tafsirkan aku sebagai hasratuntuk bisa lebih lama bersamamuTolong ciptakan makna bagikuapa saja — aku selembar daun terakhiryang ingin menyaksikanmu bahagiaketika sore tiba. []Baca juga Sastrawan Sapardi Djoko Damono Meninggal DuniaBaca juga Foto Sapardi Djoko Damono, Sastrawan Legendaris IndonesiaBaca juga Jenazah Sapardi Djoko Damono Dimakamkan di Bogor
MANUSKRIP PUISIHUJANBULANJUNI Sapardi Djoko DamonoHujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono GM 050 PT. Grasindo, Jl. Palmerah Selatan 28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Anggota IKAPI, Jakarta, 1994 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan KDT ISBN 979-553-467-XManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 2PENGANTAR Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkanselama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat diruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masihmenjadi murid SMA; Namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu tidak dipilih mungkin sekalikarena saya pikir lebih sesuai untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entahapanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik dan tematikdalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak keluarga, penyair lain, kritikus,teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, Koran, telecisi, dan sebagainya. Pada dasarnya,penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secarasembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah yang merupakan tanda bahwa iatidak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benarada. Sebagian besar sajak-sajak dalam buku ini pernah terbit dalam ebberapa kumpulansajak, sejumlah sajak pernah dimuat di Koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernahdipublikasikan. Hampir dua tahu lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini,bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya sukameragukan keuntungan yang mungkin bias didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini. Dalam hal terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Eneste dari penerbit PT Grsindo yang tidak jemu-jemu meyakinkan saya akanperlunya menerbitkan serpihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepadasiapa pun yang telah memberi dan merupakan ilham bagi sajak-sajak ini, tentang apalagipuisi kalau tidak tentang mereka, manusiaJakarta, Juni 1994Sapardi Djoko Damono Catatan Diketik ulangnya sajak-sajak ini dimaksudkan sebagai buah kecintaan dan rasa kagum saya pada karya-karya penyair Indonesia Bapak Sapardi Djoko Damono. Dan juga sebagai upaya penyediaan sarana pembelajaran sastra bagi siapa pun. Penulisan ulang ini diupayakan mengikuti rancang bangun puisi-pusi tersebut dan memiminalisir kesalahan ketik. Mohon, untuk tidak menghapus catatan ini sebagai pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang. Terima kasih. Kritik dan saran soal manuskrip ini kirimkan ke [email protected]Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 3DAFTAR ISI 4PengantarPada Suatu MalamTentang Seorang Penjaga Kubur yang MatiSaat Sebelum BerangkatBerjalan di Belakang JenazahLanskapHujan Turun Sepanjang JalanKita SaksikanDalam SakitSonet Hei! Jangan KaupatahkanZiarahDalam Doa IDalam Doa IIDalam Doa IIIKetika Jari-jari Bunga TerbukaSajak PerkawinanGerimis Kecil di Jalan Jakarta, MalangKupandang Kelam yang MErapat ke Sisi KitaBunga-bunga di HalamanPertemuanSonet XSonet YJarakHujan Dalam Komposisi, 1Hujan Dalam Komposisi, 2Hujan Dalam Komposisi, 3Varisai pada Suatu PagiMalam Itu Kami di SanaDi Beranda Waktu HujanKartu Pos Bergambar Taman Umum, New YorkNew York, 1971Dalam Kereta Bawah Tanah, ChicagoKartu Pos Bergambar Jembatan “Golden Gate”, San FransiscoJangan CeritakanTulisan di Batu NisanMata PisauTentang MatahariBerjalan ke Barat Waktu Pagi HariCahaya Bulan Tengah MalamNarcissusCatatan Masa Kecil, 1Catatan Masa Kecil, 2Catatan Masa Kecil, 3AkuariumSajak, 1Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoSajak, 2 5Di Kebun BinatangPercakapan Malam HujanTelur, 1Telur, 2Sehabis Suara GemuruhMuaraSepasang Sepatu TuaDi Banjar Tunjuk, TabananSungai, TabananKepada I Gusti Ngurah BagusBola LampuPada Suatu Pagi HariBunga, 1Bunga, 2Bunga, 3Puisi Cat Air untuk RizkiLirik untuk Lagu PopTiga Lembar Kartu PosSandiwara, 1Sandiwara, 2Lirik untuk Imporvisasi JazzYang Fana adalah WaktuTuanCermin, 1Cermin, 2Dalam DirikuKuhentikan HujanBenihDi Tangan Anak-anakDi Atas BatuAngin, 3Cara Membunuh BurungSihir HujanMetamorfosisPerahu KertasKami bertigaTelingaAku InginSajak-sajak Empat SeuntaiDi RestoranDalam Doa’kuPada Suatu Hari NantiSita SihirBatuMautHujan, Jalak dan Daun JambuAjaran HidupTerbangnya BurungManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoPada Suatu Malam 6ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo,katanya sambil didengarnya sendiri suara sepatunyasatu lampu-lampu ini masih menyala buatku, gambar-gambar yang kabur dalam cahaya,hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadahkemudian sambil menarik nafas panjangia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam,sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautanyang memberontak terhadap adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuanbeberapa orang bergerombol, dan satu-dua orangmenyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon sejuta mata itu memandang ke arahku, pun berjalan ke barat, merapat ke masa malam, gereja, hei kaukah anak kecilyang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu?ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari nataldalam gereja itu, dengan pakaian serba baru,bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekalibertemu yesus, tapi ayahnya bilangyesus itu anak tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai malam ini yesus mencariku, ia belum pernah berjanji kepada siapa pununtuk menemui atau ditemui;ia benci kepada setiap kepercayaan yang berjalan sendiri di antara orang didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa,tapi tak pernah mengetahuiawal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapabarangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang sendiri; ia merasa seperti tenteramdengan jawabannya sendiriia adalah doa yang tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya,lupa wajahnya berdoa sambil berjalan…ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri,tak bisa menemukan kata puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damonoia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir 7tentang dosa; ia selalu akan pingsankalau berpikir tentang mati dan hidup tuhan seperti kepala sekolah, pikirnyaketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhanakan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal,membiarkannya bergelandangan dimakan tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga,pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasandengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga;apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkalipernah juga dikeluarkan dari sekolahnya malam, langit, apa kabar selama ini?barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya…ia pernah membenci langit dahulu,ketika musim kapal terbang seperti burungmenukik dan kemudian ledakan-ledakansaat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoadan terbawa pula namanya sendirikadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara sajake tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dinginia ingin lekas kawin, membangun tempat pernah merasa seperti si pandir menghadapiangka-angka…ia pun tak berani memandang dirinya sendiriketika pada akhirnya tak ditemukannya suatu saat seorang gadis adalah bunga,tetapi di lain saat menjelma sejumlah angkayang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang tkut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolosdari lampu-lampu dan suara-suara malam hari,dan melepaskan genggamannya dari kenyataan;tetapi disaksikannya berjuta orang sedang berdoa,para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan,orang-orang sakit, orang-orang penjara,dan barisan panjang orang terkejut dan berhenti,lonceng kota berguncang seperti sedia kalarekaman senandung duka perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan tak tahu kenapa mesti karena wajah perempuan itu mengingatkannyakepada sebuah selokan, penuh dengan cacing;barangkali karena mulut perempuan ituManuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damonomenyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanyaseperti gula-gula yang dikerumuni beratus ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk siapa gerangan tuhan berpihak, menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiriatau membawa perempuan, atau bergerombol,wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal,wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman,wajah-wajah yang ia cinta dan ia sama mereka mengangguk padaku, pikirnya;barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisahatau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke malam. ia mengangguk, entah kepada siapa;barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang,dan sunyi adalah minuman merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga;ia pun hidup adalah doa yang….barangkali sunyi adalah….barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat1964Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 8TENTANG SEORANG PENJAGA KUBURYANG MATIbumi tak pernah membeda-bedakan, seperti ibu yang baik. diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang, pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh-tak-acuh kepada bumi, akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa gendering, si penjaga kubur ini, pernah berpikir apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atau am punan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum pernah terkubur dalam bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 9SAAT SEBELUM BERANGKATmengapa kita masih juga bercakaphari hampir gelapmenyekap beribu kata diantara karangan bungadi ruang semakin maya, dunia purnamasampai tak ada yang sempat bertanyamengapa musim tiba-tiba redakita di mana. waktu seorang bertahan di sinidi luar para pengiring jenazah menanti1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 10BERJALAN DI BELAKANG JENAZAHberjalan di belakang jenazah angina pun redajam mengerdiptak terduga betapa lekassiang menepi, melapangkan jalan duniadi samping pohon demi pohon menundukkan kepaladi atas matahari kita, matahari itu jugajam mengambang di antaranyatak terduga begitu kosong waktu menghirupnya1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 11SEHABIS MENGANTAR JENAZAHmasih adakah yang akan kautanyakantentang hal itu? hujan pun sudah selesaisewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakapdi bawah bunga-bunga menua, matahari yang senjapulanglah dengan paying di tangan, tertutupanak-anak kembali bermain di jalanan basahseperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauhbarangkali kita tak perlu tua dalam tanda Tanyamasih adakah? alangkah angkuhnya langitalangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kitaseluruhnya, seluruhnya kecuali kenanganpada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 12LANSKAPsepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tuawaktu hari hampir lengkap, menunggu senjaputih, kita pun putih memandangnya setiasampai habis semua senja1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 13HUJAN TURUN SEPANJANG JALANhujan turun sepanjang jalanhujan rinai waktu musim berdesik-desik pelankembali bernama sunyikita pandang pohon-pohon di luar basah kembalitak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tibaatas pesan yang rahasiatatkala angina basah tak ada bermuat debutatkala tak ada yang merasa diburu-buru1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 14KITA SAKSIKANkita saksikan burung-burung lintas di udarakita saksikan awan-awan kecil di langit utarawaktu cuaca pun senyap seketikasudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnyadi antara hari buruk dan dunia mayakita pun kembali mengenalnyakumandang kekal, percakapan tanpa kata-katasaat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 15DALAM SAKITwaktu lonceng berbunyipercakapan merendah, kita kembali menanti-nantikau berbisik siapa lagi akan tibasiapa lagi menjemputmu berangkat berdukadi ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam harimengendap, kekal dalam rahasiakita pun setia memulai percakapan kembaliseakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 16SONET HEI! JANGAN KAUPATAHKANHei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga ituia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tuayang telah mengenal baik, kau tahu,segala perubahan akar-akar yang sabar menyusup dan menjalarhujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakardan mekarlah bunga itu perlahan-lahandengan gaib, dari rahim saksikan saja dengan telitibagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diammembunuhnya dengan hati-hati sekalidalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam;lihat ia pun terkulai perlahan-lahandengan indah sekali, tanpa satu keluhan1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 17ZIARAH 18Kita berjingkat lewatjalan kecil inidengan kaki telanjang; kita berziarahke kubur orang-orang yang telah melahirkan sampai terjaga mereka!Kita tak membawa apa-apa. Kitatak membawa kemenyan atau pun bungakecuali seberkas rencana-rencan kecilyang senantiasa tertunda-tunda untukkita sombongkan kepada akan kita jumpai wajah-wajah bengis,atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad merekadi sana? Tidak, mereka hanya batang-batang cemara yang menusuk langityang akar-akarnya pada bumi kita belum pernah mengenal mereka;ibu-bapak kita yang mendongengtentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu,tanpa menyebut-nyebut hanyalah mimpi-mimpi kita,kenangan yang membuat kita merasapernah berziarah; berjingkatlah sesampaidi ujung jalan kecil inisebuah lapangan terbuka batang-batang cemara ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga;mereka telah tidur sejak abad pertama,semenjak Hari Pertama ada tulang-belulang tak ada sisa-sisajasad mereka. Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebakkita dalam dongengan tangan kita berkas-berkas rencana,di atas kepala sang puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoDALAM DOA Ikupandang ke sana Isyarat-isyarat dalam cahayakupandang semestaketika Engkau seketika memijar dalam Kataterbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suarakemudian daun bertahan pada tangkainyaketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kalatiada apa pun diantara Kita dinginsemakin membara sewaktu berembus angina1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 19DALAM DOA IIsaat tiada pun tiadaaku berjalan tiada –gerakan, serasaisyarat Kita pun bertemusepasang Tiadatersuling tiada-gerakan, serasanikmat Sepi meninggi1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 20DALAM DOA IIIjejak-jejak Bunga selalu; betapa tergodakita untuk berburu, terjundi antara raung warnasebelum musim menanggalkan daun-daunakan tersesat di mana kitaterbujuk jejak-jejak Bunga nantinya atauterjebak juga baying-bayang Cahayadalam nafsu kita yang risau1967Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 21KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKAketika jari-jari bunga terbukamendadak terasa betapa sengitcinta Kitacahaya bagai kabut, kabut cahaya; di awan hari ini di bumimeriap sepi yang purba;ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagidis ayap kupu-kupu, di sayap warnaswara burung di ranting-ranting cuaca,bulu-bulu cahaya betapa parahcinta Kitamabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 22SAJAK PERKAWINANcahaya yang ini, Siapakah?kelopak-kelopak malamberguguran kaki langit yang kaburdalam kamar, dalam Persetubuhanbutir demi butirKau dan aku, akudan serbuk malam tergelincirmenyatuPerkawinan tak di mana pun, takkapan punkelopak demi kelopak terbukamalam pun sempurna1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 23GERIMIS KECILDI JALAN JAKARTA, MALANGseperti engkau berbicara di ujung jalanwaktu dingin, sepi gerimis tiba-tibaseperti engkau memanggil-manggil di kelokan ituuntuk kembali berdukauntuk kembali kepada rindupanjang dan cemasseperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampusupaya menyahutmu, Mu1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 24KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITAkupandang kelam yang merapat ke sisi kita;siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tibamalam berkabut seketika; barangkali menjemputkubarangkali berkabar penghujan itukita terdiam saja di pintu; menungguatau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu;kenalkah ia padamu, desakmu kemudian sepiterbata-bata menghardik berulang kalibaying-bayangnya pun hampir sampai di sini; janganucapkan selamat malam; undurlah pelahanpastilah sudah gugur hujandi hulu sungai itu; itulah Saat itu, bisikkukukecup ujung jarimu; kau pun menatapkubunuhlah ia, suamiku kutatap kelam itubaying-bayang yang hampir lengkap mencapaikulalu kukatakan mengapa Kau tegak di situ1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 25BUNGA-BUNGA DI HALAMANmawar dan bunga rumputdi halaman; gadis yang kecildunia kecil, jari begitukecil menudingnyamengapakah perempuan suka menangisbagai kelopak mawar, sedangrumput liar semakin hijau swaranyadi bawah sepatu-sepatumengapakah pelupuk mawar selaluberkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembuthampir mencapainya wahai, meriaprumput di tubuh kita1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 26PERTEMUANperempuan mengirim air matanyake tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulanke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantallembut bagai bianglalalelaki tak pernah menolehdan di setiap jejaknya melebat hutan-hutan,hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang mataharikeras dan fanadan serbuk-serbuk hujantiba dari arah mana saja cadarbagi rahim yang terbuka, udara yang jenuhketika mereka berjumpa. Di ranjang ini1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 27SONET Xsiapa menggores di langit birusiapa meretas di awan lalusiapa mengkristal di kabut itusiapa mengertap di bunga layusiapa cerna di warna ungusiapa bernafas di detak waktusiapa berkelebat setiap kubuka pintusiapa terucap di celah kata-katakusiapa mengaduh di baying-bayang sepikusiapa tiba menjemputku berburusiapa tiba-tiba menyibak cadarkusiapa meledak dalam diriku siapa Aku1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 28SONET Ywalau kita sering bertemudi antara orang-orang melawat ke kubur itudi sela-sela suara birubencah-bencah kelabu dan unguwalau kau sering kukenangdi antara kata-kata yang lama tlah hilangterkunci dalam baying-bayangdendam remangwalau aku sering kau sapadi setiap simpang cuacahijau menjelma merah menyaladi pusing jantra ku tak tahu kenapa merindutergagap gugup di ruang tunggu1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 29JARAKdan Adam turun di hutan-hutanmengabur dalam dongengandan kita tiba-tiba di sinitengadah ke langit; kosong sepi1968Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 30HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1 Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yangteratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turundi selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, emmbayangkan rahasiadaun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali baying-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukanitu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik airmenggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akanmengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 31HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini. bercakap tentang Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 32HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan1969Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 33VARIASI PADA SUATU PAGIisebermula adalah kabut; dan dalam kabutsenandung lonceng, ketika selembar dauh luruh,setengah bermimpi, menepi ke bumi, luputkaudengarkah juga seperti Suara mengaduh?iidan cahaya yang membasuhmu pertama-tamabernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahayayang menawarkan kicau burung susut tiba-tibapada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisaiiimenjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentakketika seekor burung, menyambar ca pungSelamat pagi pertama bagi matahari, risau bergerak-gerakketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung1970Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 34MALAM ITU KAMI DI SANA“Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?” sebuah stasiundi dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peronmenyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnyameloncat, merapat ke Sepi. Barangkali sajakami sedang menanti kereta yang bisaa tibasetiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda;barangkali saja kami sekedar ingin berada di siniketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti;hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba;sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udarasementara baying-bayang putih di seluruh ruangan,“Tetapi katakana dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku kemari?”1970Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 35DI BERANDA WAKTU HUJANKau sebut kenanganmu nyanyian dan bukan matahariyang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkanwarna-warni bunga yang dirangkaikan yang menghapusjejak-jejak kaki, yang senantiasa berulangdalam hujan. Kau di “Ke mana pula burung-burung itu yang bahkantak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian,semacam keheningan terbang; kemana pula suit daunyang berayun jatuh dalam setiap impian?”Dan bukan kemarau yang membersihkan langit,yang perlahan mengendap di udara kau sebut cintamupenghujan panjang, yang tak habis-habisnyamembersihkan debu, yang bernyanyi di beranda kau duduksendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu,menghindar dari pandangku; di mana pulaah, tidak!rinduku yang dahulu?”Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengarkepada hujan, sendiri,“Di manakah sorgaku itu nyanyianyang pernah mereka ajarkan padaku dahulu,kata demi kata yang pernah kau hapalbahkan dalam igauanku?” Dan kausebuthidupmu sore hari dan bukan siangyang bernafas dengan sengityang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah,yang meleleh dalam senandung hujan,yang puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 36KARTU POS BERGAMBARTAMAN UMUM, NEW YORKDi sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnyaduduk di bangku panjang, berkisahdengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnyaanggukmu; tak dikenalnya sopan-santun York yang senjakala, yang Hitam panggilannya,membayangkan diriny turun dari keretadari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuhdi atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 37NEW YORK, 1971Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah bajadan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampudan kaca. Langit hanya dalam batin kita,tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan akulahir, semakin biru dalam namamu. Tikungan demi tikunganwarna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjukkea rah kita, yang kemudian menjanjikanarah yang kaburke tempat-tempat yang dulu pernah adadalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat temboksambil mengulang-ulang menyebut nama tempatdan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpanganujung jalan itu, yang menjurus ke segala arahsambil menolak arah, ketika semakin banyak jugaorang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwasepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplahdengan jawaban-jawaban kaudengarkah swara-swara itu?1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 38DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO“Siapakah namamu?” Barangkali aku setengah tertidur waktu kau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjagaBaiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau Pak Guru yang mengajar anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji? yang bisaa menghitung nafas kita, ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjagaSeandainya -1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 39KARTU POS BERGAMBARJEMBATAN “GOLDEN GATE”, SAN FRANSISCOkabut yang likat dan kabut yang pupurlekat dan grimis pada tiang-tiang jembatanmatahari menggeliat dan kembali gugurtak lagi di langit! berpusing di pedih lautan1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 40JANGAN CERITAKANbibir-bibir bunga yang pecah-pecahmengunyah matahari,jangan ceritakan padaku tentang dinginyang melengking malam-malam – lalu mengembun1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 41TULISAN DI BATU NISANtolong tebarkan atasku baying-bayang hidup yang lindapkalau kau berziarah ke maritak tahan rasanya terkubur, megapdi bawah terik si matahari1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 42MATA PISAUmata pisau itu tak berkejap menatapmu;kau yang baru saja mengasahnyaberpikir; ia tajam untuk mengiris apelyang tersedia di atas mejasehabis makan malam;ia berkilat ketika terbayang olehnya urat puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 43TENTANG MATAHARIMatahari yang di atas kepalamu ituadalah balon gas yang terlepas dari tanganmuwaktu kau kecil, adalah bola lampuyang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-suratyang teratur kau terima dari sebuah Alamat,adalah jam weker yang berderingsaat kau bersetubuh, adalah gambar bulanyang dituding anak kecil itu sambil berkata“Ini matahari! Ini matahari!” –Matahari itu? Ia memang di atas sanasupaya selamanaya kau menghelabaying-bayangmu puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 44BERJALAN KE BARATWAKTU PAGI HARIwaktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakangaku berjalan mengikuti baying-bayangku sendiri yang memanjang di depanaku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan baying-bayangaku dan baying-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 45CAHAYA BULAN TENGAH MALAMaku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kacaadakah hujan sudah reda sejak lama?masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubacaterjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 46NARCISSUSseperti juga aku namamu siapa, bukan?pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalamtetapi jangan saja kita bercintajangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelmaatau tunggu sampai angina melepaskan selembar daundan jatuh di telaga pandangmu berpendar, bukan?cemaskah aku kalau nanti air bening kembali?cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi?1971Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 47CATATAN MASA KECIL, 1 Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan tampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit danmengigau dan memanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Iamelemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnyalama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. mereka bilang sumur matiitu tak pernah keluar airnya. Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 48CATATAN MASA KECIL, 2 Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernahmenyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam menerkam. Langit belumberubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda lautsehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angina dan ia kesal lalu menyepak sebutir yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalutersangkut pada angina dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan iamembayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungaitetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Iamemperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanjimengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulaijatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkanmereka tiba-tiba menge pungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. MASA KECIL, 3 49Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko DamonoIa turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di-luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan halitu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tigakali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututupjendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekaliperangainya?1971AKUARIUM 50Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono
MANUSKRIP PUISI HUJAN BULAN JUNI Sapardi Djoko Damono Hujan Bulan Juni oleh Sapardi Djoko Damono GM 050 Penerbit PT. Grasindo, Jl. Palmerah Selatan 28, Jakarta 10270 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang All rights reserved Diterbitkan pertama kali oleh penerbit PT. Grasindo, Anggota IKAPI, Jakarta, 1994 Perpustakaan Nasional Katalog Dalam Terbitan KDT ISBN 979-553-467-X Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 2 PENGANTAR Sajak-sajak dalam buku ini saya pilih dari sekian ratus sajak yang saya hasilkan selama 30 tahun, antara 1964 sampai dengan 1994. Sajak saya pertama kali dimuat di ruangan kebudayaan sebuah tabloid di Semarang pada tahun 1957, sewaktu saya masih menjadi murid SMA; Namun, ini tidak berarti bahwa ratusan sajak yang ditulis selama 1957-1964 tidak saya pertimbangkan untuk buku ini. Sajak-sajak itu tidak dipilih mungkin sekali karena saya pikir lebih sesuai untuk dikumpulkan di buku lain, yang suasananya – atau entah apanya – agak berbeda dari buku ini. Ini berarti bahwa ada juga sesuatu yang mengikat sajak-sajak ini menjadi satu buku. Saya sendiri tidak tahu apakah selama 30 tahun itu ada perubahan stilistik dan tematik dalam puisi saya. Seorang penyair belajar dari banyak pihak keluarga, penyair lain, kritikus, teman, pembaca, tetangga, masyarakat luas, Koran, telecisi, dan sebagainya. Pada dasarnya, penyair memang tidak suka diganggu, namun sebenarnya ia suka juga, mungkin secara sembunyi-sembunyi, nguping pendapat pembaca. Itulah yang merupakan tanda bahwa ia tidak hidup sendirian saja di dunia; itulah pula tanda bahwa puisi yang ditulisnya benar-benar ada. Sebagian besar sajak-sajak dalam buku ini pernah terbit dalam ebberapa kumpulan sajak, sejumlah sajak pernah dimuat di Koran dan majalah, satu-dua sajak belum pernah dipublikasikan. Hampir dua tahu lamanya saya mempertimbangkan penerbitan buku ini, bukan karena sajak-sajak saya berceceran dan sulit dilacak, tetapi karena saya suka meragukan keuntungan yang mungkin bias didapat oleh pembaca maupun penerbit buku ini. Dalam hal terakhir itu sudah selayaknya saya mengucapkan terima kasih kepada Sdr. Pamusuk Eneste dari penerbit PT Grsindo yang tidak jemu-jemu meyakinkan saya akan perlunya menerbitkan serpihan sajak ini. Terima kasih tentu saja saya sampaikan juga kepada siapa pun yang telah memberi dan merupakan ilham bagi sajak-sajak ini, tentang apalagi puisi kalau tidak tentang mereka, manusia Jakarta, Juni 1994 Sapardi Djoko Damono Catatan Diketik ulangnya sajak-sajak ini dimaksudkan sebagai buah kecintaan dan rasa kagum saya pada karya-karya penyair Indonesia Bapak Sapardi Djoko Damono. Dan juga sebagai upaya penyediaan sarana pembelajaran sastra bagi siapa pun. Penulisan ulang ini diupayakan mengikuti rancang bangun puisi-pusi tersebut dan memiminalisir kesalahan ketik. Mohon, untuk tidak menghapus catatan ini sebagai pertanggung jawaban saya sebagai pihak yang mengetik ulang. Terima kasih. Kritik dan saran soal manuskrip ini kirimkan ke [email protected] Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 3 DAFTAR ISI Pengantar Pada Suatu Malam Tentang Seorang Penjaga Kubur yang Mati Saat Sebelum Berangkat Berjalan di Belakang Jenazah Lanskap Hujan Turun Sepanjang Jalan Kita Saksikan Dalam Sakit Sonet Hei! Jangan Kaupatahkan Ziarah Dalam Doa I Dalam Doa II Dalam Doa III Ketika Jari-jari Bunga Terbuka Sajak Perkawinan Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang Kupandang Kelam yang MErapat ke Sisi Kita Bunga-bunga di Halaman Pertemuan Sonet X Sonet Y Jarak Hujan Dalam Komposisi, 1 Hujan Dalam Komposisi, 2 Hujan Dalam Komposisi, 3 Varisai pada Suatu Pagi Malam Itu Kami di Sana Di Beranda Waktu Hujan Kartu Pos Bergambar Taman Umum, New York New York, 1971 Dalam Kereta Bawah Tanah, Chicago Kartu Pos Bergambar Jembatan “Golden Gate”, San Fransisco Jangan Ceritakan Tulisan di Batu Nisan Mata Pisau Tentang Matahari Berjalan ke Barat Waktu Pagi Hari Cahaya Bulan Tengah Malam Narcissus Catatan Masa Kecil, 1 Catatan Masa Kecil, 2 Catatan Masa Kecil, 3 Akuarium Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 4 Sajak, 1 Sajak, 2 Di Kebun Binatang Percakapan Malam Hujan Telur, 1 Telur, 2 Sehabis Suara Gemuruh Muara Sepasang Sepatu Tua Di Banjar Tunjuk, Tabanan Sungai, Tabanan Kepada I Gusti Ngurah Bagus Bola Lampu Pada Suatu Pagi Hari Bunga, 1 Bunga, 2 Bunga, 3 Puisi Cat Air untuk Rizki Lirik untuk Lagu Pop Tiga Lembar Kartu Pos Sandiwara, 1 Sandiwara, 2 Lirik untuk Imporvisasi Jazz Yang Fana adalah Waktu Tuan Cermin, 1 Cermin, 2 Dalam Diriku Kuhentikan Hujan Benih Di Tangan Anak-anak Di Atas Batu Angin, 3 Cara Membunuh Burung Sihir Hujan Metamorfosis Perahu Kertas Kami bertiga Telinga Aku Ingin Sajak-sajak Empat Seuntai Di Restoran Dalam Doa’ku Pada Suatu Hari Nanti Sita Sihir Batu Maut Hujan, Jalak dan Daun Jambu Ajaran Hidup Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 5 Terbangnya Burung Pada Suatu Malam ia pun berjalan ke barat, selamat malam, solo, katanya sambil menunduk. seperti didengarnya sendiri suara sepatunya satu persatu. barangkali lampu-lampu ini masih menyala buatku, pikirnya. kemudian gambar-gambar yang kabur dalam cahaya, hampir-hampir tak ia kenal lagi dirinya, menengadah kemudian sambil menarik nafas panjang ia sendiri saja, sahut menyahut dengan malam, sedang dibayangkannya sebuah kapal di tengah lautan yang memberontak terhadap kesunyian. sunyi adalah minuman keras, beberapa orang membawa perempuan beberapa orang bergerombol, dan satu-dua orang menyindir diri sendiri; kadang memang tak ada lelucon lain. barangkali sejuta mata itu memandang ke arahku, pikirnya. ia pun berjalan ke barat, merapat ke masa lampau. selamat malam, gereja, hei kaukah anak kecil yang dahulu duduk menangis di depan pintuku itu? ia ingat kawan-kawannya pada suatu hari natal dalam gereja itu, dengan pakaian serba baru, bernyanyi; dan ia di luar pintu. ia pernah ingin sekali bertemu yesus, tapi ayahnya bilang yesus itu anak jadah. ia tak pernah tahu apakah ia pernah sungguh-sungguh mencintai ayahnya. barangkali malam ini yesus mencariku, pikirnya. tapi ia belum pernah berjanji kepada siapa pun untuk menemui atau ditemui; ia benci kepada setiap kepercayaan yang dipermainkan. ia berjalan sendiri di antara orang ramai. seperti didengarnya seorang anak berdoa; ia tak pernah diajar berdoa. ia pun suatu saat ingin meloloskan dirinya ke dalam doa, tapi tak pernah mengetahui awal dan akhir sebuah doa; ia tak pernah tahu kenapa barangkali seluruh hidupku adalah sebuah doa yang panjang. katanya sendiri; ia merasa seperti tenteram dengan jawabannya sendiri ia adalah doa yang panjang. pagi tadi ia bertemu seseorang, ia sudah lupa namanya, lupa wajahnya berdoa sambil berjalan… ia ingin berdoa malam ini, tapi tak bisa mengakhiri, tak bisa menemukan kata penghabisan. Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 6 ia selalu merasa sakit dan malu setiap kali berpikir tentang dosa; ia selalu akan pingsan kalau berpikir tentang mati dan hidup abadi. barangkali tuhan seperti kepala sekolah, pikirnya ketika dulu ia masih di sekolah rendah. barangkali tuhan akan mengeluarkan dan menghukum murid yang nakal, membiarkannya bergelandangan dimakan iblis. barangkali tuhan sedang mengawasi aku dengan curiga, pikirnya malam ini, mengawasi seorang yang selalu gagal berdoa. apakah ia juga pernah berdosa, tanyanya ketika berpapasan dengan seorang perempuan. perempuan itu setangkai bunga; apakah ia juga pernah bertemu yesus, atau barangkali pernah juga dikeluarkan dari sekolahnya dulu. selamat malam, langit, apa kabar selama ini? barangkali bintang-bintang masih berkedip buatku, pikirnya… ia pernah membenci langit dahulu, ketika musim kapal terbang seperti burung menukik dan kemudian ledakan-ledakan saat itu pulalah terdengar olehnya ibunya berdoa dan terbawa pula namanya sendiri kadang ia ingin ke langit, kadang ia ingin mengembara saja ke tanah-tanah yang jauh; pada suatu saat yang dingin ia ingin lekas kawin, membangun tempat tinggal. ia pernah merasa seperti si pandir menghadapi angka-angka…ia pun tak berani memandang dirinya sendiri ketika pada akhirnya tak ditemukannya kuncinya. pada suatu saat seorang gadis adalah bunga, tetapi di lain saat menjelma sejumlah angka yang sulit. ah, ia tak berani berkhayal tentang biara. ia tkut membayangkan dirinya sendiri, ia pun ingin lolos dari lampu-lampu dan suara-suara malam hari, dan melepaskan genggamannya dari kenyataan; tetapi disaksikannya berjuta orang sedang berdoa, para pengungsi yang bergerak ke kerajaan tuhan, orang-orang sakit, orang-orang penjara, dan barisan panjang orang gila. ia terkejut dan berhenti, lonceng kota berguncang seperti sedia kala rekaman senandung duka nestapa. seorang perempuan tertawa ngeri di depannya, menawarkan sesuatu. ia menolaknya. ia tak tahu kenapa mesti menolaknya. barangkali karena wajah perempuan itu mengingatkannya kepada sebuah selokan, penuh dengan cacing; Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 7 barangkali karena mulut perempuan itu menyerupai penyakit lepra; barangkali karena matanya seperti gula-gula yang dikerumuni beratus semut. dan ia telah menolaknya, ia bersyukur untuk itu. kepada siapa gerangan tuhan berpihak, gerutunya. ia menyaksikan orang-orang berjalan, seperti dirinya, sendiri atau membawa perempuan, atau bergerombol, wajah-wajah yang belum ia kenal dan sudah ia kenal, wajah-wajah yang ia lupakan dan ia ingat sepanjang zaman, wajah-wajah yang ia cinta dan ia kutuk. semua sama saja. barangkali mereka mengangguk padaku, pikirnya; barangkali mereka melambaikan tangan padaku setelah lama berpisah atau setelah terlampau sering bertemu. ia berjalan ke barat. selamat malam. ia mengangguk, entah kepada siapa; barangkali kepada dirinya sendiri. barangkali hidup adalah doa yang panjang, dan sunyi adalah minuman keras. ia merasa tuhan sedang memandangnya dengan curiga; ia pun bergegas. barangkali hidup adalah doa yang…. barangkali sunyi adalah…. barangkali tuhan sedang menyaksikannya berjalan ke barat 1964 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 8 TENTANG SEORANG PENJAGA KUBUR YANG MATI bumi tak pernah membeda-bedakan, seperti ibu yang baik. diterimanya kembali anak-anaknya yang terkucil dan membusuk, seperti halnya bangkai binatang, pada suatu hari seorang raja, atau jenderal, atau pedagang, atau klerek – sama saja. dan kalau hari ini si penjaga kubur, tak ada bedanya. ia seorang tua yang rajin membersihkan rumputan, menyapu nisan, mengumpulkan bangkai bunga dan daunan; dan bumi pun akan menerimanya seperti ia telah menerima seorang laknat, atau pendeta, atau seorang yang acuh-tak-acuh kepada bumi, dirinya. toh akhirnya semua membusuk dan lenyap, yang mati tanpa gendering, si penjaga kubur ini, pernah berpikir apakah balasan bagi jasaku kepada bumi yang telah kupelihara dengan baik; barangkali sebuah sorga atau am punan bagi dusta-dusta masa mudanya. tapi sorga belum pernah terkubur dalam tanah. dan bumi tak pernah membeda-bedakan, tak pernah mencinta atau membenci; bumi adalah pelukan yang dingin, tak pernah menolak atau menanti, tak akan pernah membuat janji dengan langit. lelaki tua yang rajin itu mati hari ini; sayang bahwa ia tak bisa menjaga kuburnya sendiri. 1964 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 9 SAAT SEBELUM BERANGKAT mengapa kita masih juga bercakap hari hampir gelap menyekap beribu kata diantara karangan bunga di ruang semakin maya, dunia purnama sampai tak ada yang sempat bertanya mengapa musim tiba-tiba reda kita di mana. waktu seorang bertahan di sini di luar para pengiring jenazah menanti 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 10 BERJALAN DI BELAKANG JENAZAH berjalan di belakang jenazah angina pun reda jam mengerdip tak terduga betapa lekas siang menepi, melapangkan jalan dunia di samping pohon demi pohon menundukkan kepala di atas matahari kita, matahari itu juga jam mengambang di antaranya tak terduga begitu kosong waktu menghirupnya 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 11 SEHABIS MENGANTAR JENAZAH masih adakah yang akan kautanyakan tentang hal itu? hujan pun sudah selesai sewaktu tertimbun sebuah dunia yang tak habisnya bercakap di bawah bunga-bunga menua, matahari yang senja pulanglah dengan paying di tangan, tertutup anak-anak kembali bermain di jalanan basah seperti dalam mimpi kuda-kuda meringkik di bukit-bukit jauh barangkali kita tak perlu tua dalam tanda Tanya masih adakah? alangkah angkuhnya langit alangkah angkuhnya pintu yang akan menerima kita seluruhnya, seluruhnya kecuali kenangan pada sebuah gua yang menjadi sepi tiba-tiba 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 12 LANSKAP sepasang burung, jalur-jalur kawat, langit semakin tua waktu hari hampir lengkap, menunggu senja putih, kita pun putih memandangnya setia sampai habis semua senja 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 13 HUJAN TURUN SEPANJANG JALAN hujan turun sepanjang jalan hujan rinai waktu musim berdesik-desik pelan kembali bernama sunyi kita pandang pohon-pohon di luar basah kembali tak ada yang menolaknya. kita pun mengerti, tiba-tiba atas pesan yang rahasia tatkala angina basah tak ada bermuat debu tatkala tak ada yang merasa diburu-buru 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 14 KITA SAKSIKAN kita saksikan burung-burung lintas di udara kita saksikan awan-awan kecil di langit utara waktu cuaca pun senyap seketika sudah sejak lama, sejak lama kita tak mengenalnya di antara hari buruk dan dunia maya kita pun kembali mengenalnya kumandang kekal, percakapan tanpa kata-kata saat-saat yang lama hilang dalam igauan manusia 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 15 DALAM SAKIT waktu lonceng berbunyi percakapan merendah, kita kembali menanti-nanti kau berbisik siapa lagi akan tiba siapa lagi menjemputmu berangkat berduka di ruangan ini kita gaib dalam gema. di luar malam hari mengendap, kekal dalam rahasia kita pun setia memulai percakapan kembali seakan abadi, menanti-nanti lonceng berbunyi 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 16 SONET HEI! JANGAN KAUPATAHKAN Hei! Jangan kaupatahkan kuntum bunga itu ia sedang mengembang; bergoyang-goyang dahan-dahannya yang tua yang telah mengenal baik, kau tahu, segala perubahan cuaca. Bayangkan akar-akar yang sabar menyusup dan menjalar hujan pun turun setiap bumi hampir hangus terbakar dan mekarlah bunga itu perlahan-lahan dengan gaib, dari rahim Alam. Jangan; saksikan saja dengan teliti bagaimana matahari memulasnya warna-warni, sambil diam-diam membunuhnya dengan hati-hati sekali dalam Kasih-sayang, dalam rindu-dendam Alam; lihat ia pun terkulai perlahan-lahan dengan indah sekali, tanpa satu keluhan 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 17 ZIARAH Kita berjingkat lewat jalan kecil ini dengan kaki telanjang; kita berziarah ke kubur orang-orang yang telah melahirkan kita. Jangan sampai terjaga mereka! Kita tak membawa apa-apa. Kita tak membawa kemenyan atau pun bunga kecuali seberkas rencana-rencan kecil yang senantiasa tertunda-tunda untuk kita sombongkan kepada mereka. Apakah akan kita jumpai wajah-wajah bengis, atau tulang belulang, atau sisa-sisa jasad mereka di sana? Tidak, mereka hanya kenangan. hanya batang-batang cemara yang menusuk langit yang akar-akarnya pada bumi keras. Sebenarnya kita belum pernah mengenal mereka; ibu-bapak kita yang mendongeng tentang tokoh-tokoh itu, nenek moyang kita itu, tanpa menyebut-nyebut nama. Mereka hanyalah mimpi-mimpi kita, kenangan yang membuat kita merasa pernah ada. Kita berziarah; berjingkatlah sesampai di ujung jalan kecil ini sebuah lapangan terbuka batang-batang cemara angin. Tak ada bau kemenyan tak ada bunga-bunga; mereka telah tidur sejak abad pertama, semenjak Hari Pertama itu. Tak ada tulang-belulang tak ada sisa-sisa jasad mereka. Ibu-bapa kita sungguh bijaksana, terjebak kita dalam dongengan nina-bobok. Di tangan kita berkas-berkas rencana, di atas kepala sang Surya. 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 18 DALAM DOA I kupandang ke sana Isyarat-isyarat dalam cahaya kupandang semesta ketika Engkau seketika memijar dalam Kata terbantun menjelma gema. Malam sibuk di luar suara kemudian daun bertahan pada tangkainya ketika hujan tiba. Kudengar bumi sedia kala tiada apa pun diantara Kita dingin semakin membara sewaktu berembus angina 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 19 DALAM DOA II saat tiada pun tiada aku berjalan tiada – gerakan, serasa isyarat Kita pun bertemu sepasang Tiada tersuling tiadagerakan, serasa nikmat Sepi meninggi 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 20 DALAM DOA III jejak-jejak Bunga selalu; betapa tergoda kita untuk berburu, terjun di antara raung warna sebelum musim menanggalkan daun-daun akan tersesat di mana kita terbujuk jejak-jejak Bunga nantinya atau terjebak juga baying-bayang Cahaya dalam nafsu kita yang risau 1967 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 21 KETIKA JARI-JARI BUNGA TERBUKA ketika jari-jari bunga terbuka mendadak terasa betapa sengit cinta Kita cahaya bagai kabut, kabut cahaya; di langit. menyisih awan hari ini di bumi meriap sepi yang purba; ketika kemarau terasa ke bulu-bulu mata, suatu pagi dis ayap kupu-kupu, di sayap warna swara burung di ranting-ranting cuaca, bulu-bulu cahaya betapa parah cinta Kita mabuk berjalan, diantara jerit bunga-bunga rekah 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 22 SAJAK PERKAWINAN cahaya yang ini, Siapakah? kelopak-kelopak malam berguguran kaki langit yang kabur dalam kamar, dalam Persetubuhan butir demi butir Kau dan aku, aku dan serbuk malam tergelincir menyatu Perkawinan tak di mana pun, tak kapan pun kelopak demi kelopak terbuka malam pun sempurna 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 23 GERIMIS KECIL DI JALAN JAKARTA, MALANG seperti engkau berbicara di ujung jalan waktu dingin, sepi gerimis tiba-tiba seperti engkau memanggil-manggil di kelokan itu untuk kembali berduka untuk kembali kepada rindu panjang dan cemas seperti engkau yang memberi tanda tanpa lampu-lampu supaya menyahutmu, Mu 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 24 KUPANDANG KELAM YANG MERAPAT KE SISI KITA kupandang kelam yang merapat ke sisi kita; siapa itu di sebelah sana, tanyamu tiba-tiba malam berkabut seketika; barangkali menjemputku barangkali berkabar penghujan itu kita terdiam saja di pintu; menunggu atau ditunggu, tanpa janji terlebih dahulu; kenalkah ia padamu, desakmu kemudian sepi terbata-bata menghardik berulang kali baying-bayangnya pun hampir sampai di sini; jangan ucapkan selamat malam; undurlah pelahan pastilah sudah gugur hujan di hulu sungai itu; itulah Saat itu, bisikku kukecup ujung jarimu; kau pun menatapku bunuhlah ia, suamiku kutatap kelam itu baying-bayang yang hampir lengkap mencapaiku lalu kukatakan mengapa Kau tegak di situ 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 25 BUNGA-BUNGA DI HALAMAN mawar dan bunga rumput di halaman; gadis yang kecil dunia kecil, jari begitu kecil menudingnya mengapakah perempuan suka menangis bagai kelopak mawar, sedang rumput liar semakin hijau swaranya di bawah sepatu-sepatu mengapakah pelupuk mawar selalu berkaca-kaca; sementara tangan-tangan lembut hampir mencapainya wahai, meriap rumput di tubuh kita 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 26 PERTEMUAN perempuan mengirim air matanya ke tanah-tanah cahaya, ke kutub-kutub bulan ke landasan cakrawala; kepalanya di atas bantal lembut bagai bianglala lelaki tak pernah menoleh dan di setiap jejaknya melebat hutan-hutan, hibuk pelabuhan-pelabuhan; di pelupuknya sepasang matahari keras dan fana dan serbuk-serbuk hujan tiba dari arah mana saja cadar bagi rahim yang terbuka, udara yang jenuh ketika mereka berjumpa. Di ranjang ini 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 27 SONET X siapa menggores di langit biru siapa meretas di awan lalu siapa mengkristal di kabut itu siapa mengertap di bunga layu siapa cerna di warna ungu siapa bernafas di detak waktu siapa berkelebat setiap kubuka pintu siapa terucap di celah kata-kataku siapa mengaduh di baying-bayang sepiku siapa tiba menjemputku berburu siapa tiba-tiba menyibak cadarku siapa meledak dalam diriku siapa Aku 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 28 SONET Y walau kita sering bertemu di antara orang-orang melawat ke kubur itu di sela-sela suara biru bencah-bencah kelabu dan ungu walau kau sering kukenang di antara kata-kata yang lama tlah hilang terkunci dalam baying-bayang dendam remang walau aku sering kau sapa di setiap simpang cuaca hijau menjelma merah menyala di pusing jantra ku tak tahu kenapa merindu tergagap gugup di ruang tunggu 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 29 JARAK dan Adam turun di hutan-hutan mengabur dalam dongengan dan kita tiba-tiba di sini tengadah ke langit; kosong sepi 1968 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 30 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 1 Apakah yang kau tangkap dari swara hujan, dan daun-daun bougencil basah yang teratur mengetuk jendela? Apakah yang kau tangkap dari bau tanah, dari ricik air yang turun di selokan? Ia membayangkan hubungan gaib antara tanah dan hujan, emmbayangkan rahasia daun basah serta ketukan yang berulang. “Tak ada. Kecuali baying-bayangmu sendiri yang di balik pintu memimpikan ketukan itu, memimpikan sapa pinggir hujan, memimpikan bisik yang membersit dari titik air menggelincir dari daun dekat jendela itu. Atau memimpikan semacam suku kata yang akan mengantarmu tidur.” Barangkali sudah terlalu sering ia mendengarnya, dan tak lagi mengenalnya. 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 31 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 2 Apakah yang kita harapkan dari hujan? Mula-mula ia di udara tinggi, ringan dan bebas; lalu mengkristal dalam dingin; kemudian melayang jatuh ketika tercium bau bumi; dan menimpa pohon jambu itu, tergelincir dari daun-daun, melenting di atas genting, tumpah di pekarangan rumah, dan kembali ke bumi. Apakah yang kita harapkan? Hujan juga jatuh di jalan yang panjang, menyusurnya, dan tergelincir masuk selokan kecil, mericik swaranya, menyusur selokan, terus mericik sejak sore, mericik juga di malam gelap ini. bercakap tentang lautan. Apakah? Mungkin ada juga hujan yang jatuh di lautan. Selamat tidur. 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 32 HUJAN DALAM KOMPOSISI, 3 dan tik-tok jam itu kita indera kembali akhirnya terpisah dari hujan 1969 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 33 VARIASI PADA SUATU PAGI i sebermula adalah kabut; dan dalam kabut senandung lonceng, ketika selembar dauh luruh, setengah bermimpi, menepi ke bumi, luput kaudengarkah juga seperti Suara mengaduh? ii dan cahaya yang membasuhmu pertama-tama bernyanyi bagi ca pung, kupu-kupu, dan bunga; Cahaya yang menawarkan kicau burung susut tiba-tiba pada selembar daun tua, pelan terbakar, tanpa sisa iii menjelma baying-bayang. Bayang-bayang yang tiba-tiba tersentak ketika seekor burung, menyambar ca pung Selamat pagi pertama bagi matahari, risau bergerak-gerak ketika sepasang kupu-kupu merendah ke bumi basah, bertarung 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 34 MALAM ITU KAMI DI SANA “Kenapa kaubawa aku ke mari, Saudara?” sebuah stasiun di dasar malam. Bayang-bayang putih di sudut peron menyusur bangku-bangku panjang; jarum-jarum jam tak letihnya meloncat, merapat ke Sepi. Barangkali saja kami sedang menanti kereta yang bisaa tiba setiap kali tiada seorang pun siap memberi tanda-tanda; barangkali saja kami sekedar ingin berada di sini ketika tak ada yang bergegas, yang cemas, yang menanti-nanti; hanya nafas kami, menyusur batang-batang rel, mengeras tiba-tiba; sinyal-sinyal kejang, lampu-lampu kuning yang menyusut di udara sementara baying-bayang putih di seluruh ruangan, “Tetapi katakana dahulu, Saudara, kenapa kaubawa aku ke mari?” 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 35 DI BERANDA WAKTU HUJAN Kau sebut kenanganmu nyanyian dan bukan matahari yang menerbitkan debu jalanan, yang menajamkan warna-warni bunga yang dirangkaikan yang menghapus jejak-jejak kaki, yang senantiasa berulang dalam hujan. Kau di beranda. sendiri, “Ke mana pula burung-burung itu yang bahkan tak pernah kau lihat, yang menjelma semacam nyanyian, semacam keheningan terbang; kemana pula suit daun yang berayun jatuh dalam setiap impian?” Dan bukan kemarau yang membersihkan langit, yang perlahan mengendap di udara kau sebut cintamu penghujan panjang, yang tak habis-habisnya membersihkan debu, yang bernyanyi di halaman. Di beranda kau duduk sendiri, “Di mana pula sekawanan kupu-kupu itu, menghindar dari pandangku; di mana pula ah, tidak!rinduku yang dahulu?” Kau pun di beranda, mendengar dan tak mendengar kepada hujan, sendiri, “Di manakah sorgaku itu nyanyian yang pernah mereka ajarkan padaku dahulu, kata demi kata yang pernah kau hapal bahkan dalam igauanku?” Dan kausebut hidupmu sore hari dan bukan siang yang bernafas dengan sengit yang tiba-tiba mengeras di bawah matahari yang basah, yang meleleh dalam senandung hujan, yang larut. Amin. 1970 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 36 KARTU POS BERGAMBAR TAMAN UMUM, NEW YORK Di sebuah taman kausapa New York yang memutih rambutnya duduk di bangku panjang, berkisah dengan beberapa ekor merpati. Tapi tak disahutnya anggukmu; tak dikenalnya sopan-santun itu. New York yang senjakala, yang Hitam panggilannya, membayangkan diriny turun dari kereta dari Selatan nun jauh. Beberapa bunga ceri jatuh di atas koran hari ini. Lonceng menggoreskan akhir musim semi. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 37 NEW YORK, 1971 Hafalkan namamu baik-baik di sini. Setelah baja dan semen yang mengatur langkah kita, lampu-lampu dan kaca. Langit hanya dalam batin kita, tersimpan setia dari lembah-lembah di mana kau dan aku lahir, semakin biru dalam dahaga. Hafalkan namamu. Tikungan demi tikungan warna demi warna tanda-tanda jalanan yang menunjuk kea rah kita, yang kemudian menjanjikan arah yang kabur ke tempat-tempat yang dulu pernah ada dalam mimpi kanak-kanak kita. Berjalanlah merapat tembok sambil mengulang-ulang menyebut nama tempat dan tanggal lahirmu sendiri, sampai di persimpangan ujung jalan itu, yang menjurus ke segala arah sambil menolak arah, ketika semakin banyak juga orang-orang di sekitar kita, dan terasa bahwa sepenuhnya sendiri. Kemudian bersiaplah dengan jawaban-jawaban itu. Tetapi kaudengarkah swara-swara itu? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 38 DALAM KERETA BAWAH TANAH, CHICAGO “Siapakah namamu?” Barangkali aku setengah tertidur waktu kau tanyakan itu lagi. Bangku-bangku yang separo kosong, beberapa wajah yang seperti mata tombak, dan dari jendela siluet di atas dasar hitam. Aku pun tak pernah menjawabmu, bahkan ketika kautanyakan jam berapa saat kematianku, sebab kau toh tak pernah ada tatkala aku sepenuhnya terjaga Baiklah, hari ini kita namakan saja ia ketakutan, atau apa sajalah. Di saat lain barangkali ia menjadi milik seorang pahlawan, atau seorang budak, atau Pak Guru yang mengajar anak-anak bernyanyi – tetapi manakah yang lebih deras denyutnya, jantung manusia atau arloji? yang bisaa menghitung nafas kita, ketika seorang membayangkan sepucuk pestol teracu ke arahnya? Atau tak usah saja kita namakan apa-apa; kau pun sibuk mengulang-ulang pertanyaan yang itu-itu juga, sementara aku hanya separo terjaga Seandainya 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 39 KARTU POS BERGAMBAR JEMBATAN “GOLDEN GATE”, SAN FRANSISCO kabut yang likat dan kabut yang pupur lekat dan grimis pada tiang-tiang jembatan matahari menggeliat dan kembali gugur tak lagi di langit! berpusing di pedih lautan 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 40 JANGAN CERITAKAN bibir-bibir bunga yang pecah-pecah mengunyah matahari, jangan ceritakan padaku tentang dingin yang melengking malam-malam – lalu mengembun 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 41 TULISAN DI BATU NISAN tolong tebarkan atasku baying-bayang hidup yang lindap kalau kau berziarah ke mari tak tahan rasanya terkubur, megap di bawah terik si matahari 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 42 MATA PISAU mata pisau itu tak berkejap menatapmu; kau yang baru saja mengasahnya berpikir; ia tajam untuk mengiris apel yang tersedia di atas meja sehabis makan malam; ia berkilat ketika terbayang olehnya urat lehermu. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 43 TENTANG MATAHARI Matahari yang di atas kepalamu itu adalah balon gas yang terlepas dari tanganmu waktu kau kecil, adalah bola lampu yang ada di atas meja ketika kau menjawab surat-surat yang teratur kau terima dari sebuah Alamat, adalah jam weker yang berdering saat kau bersetubuh, adalah gambar bulan yang dituding anak kecil itu sambil berkata “Ini matahari! Ini matahari!” – Matahari itu? Ia memang di atas sana supaya selamanaya kau menghela baying-bayangmu itu. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 44 BERJALAN KE BARAT WAKTU PAGI HARI waktu aku berjalan ke barat di waktu pagi matahari mengikutiku di belakang aku berjalan mengikuti baying-bayangku sendiri yang memanjang di depan aku dan matahari tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang telah menciptakan baying-bayang aku dan baying-bayang tidak bertengkar tentang siapa di antara kami yang harus berjalan di depan 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 45 CAHAYA BULAN TENGAH MALAM aku terjaga di kursi ketika cahaya bulan jatuh di wajahku dari genting kaca adakah hujan sudah reda sejak lama? masih terbuka koran yang tadi belum selesai kubaca terjatuh di lantai; di tengah malam itu ia nampak begitu dingin dan fana 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 46 NARCISSUS seperti juga aku namamu siapa, bukan? pandangmu hening di permukaan telaga dan rindumu dalam tetapi jangan saja kita bercinta jangan saja aku mencapaimu dan kau padaku menjelma atau tunggu sampai angina melepaskan selembar daun dan jatuh di telaga pandangmu berpendar, bukan? cemaskah aku kalau nanti air bening kembali? cemaskah aku kalau gugur daun demi daun lagi? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 47 CATATAN MASA KECIL, 1 Ia menjenguk ke dalam sumur mati itu dan tampak garis-garis patah dan berkas-berkas warna perak dan kristal-kristal hitam yang pernah disaksikannya ketika ia sakit dan mengigau dan memanggil-manggil ibunya. Mereka bilang ada ular menjaga di dasarnya. Ia melemparkan batu ke dalam sumur mati itu dan mendengar suara yang pernah dikenalnya lama sebelum ia mendengar tangisnya sendiri yang pertama kali. mereka bilang sumur mati itu tak pernah keluar airnya. Ia mencoba menerka kenapa ibunya tidak pernah mempercayai mereka. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 48 CATATAN MASA KECIL, 2 Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkahlangkahnya. Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga lalu berpikir apakah burung yang tersentak dari ranting lamtara itu pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam menerkam. Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur ke mana pun dan bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angina dan ia kesal lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya. Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentuh sekuntum bunga lalu tersangkut pada angina dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan. Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia memperhatikan ekor srigunting yang senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya ke seberang sungai belum juga tiba lalu menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia memperhatikan lingkaranlingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka tiba-tiba menge pungnya dan melemparkannya ke air. Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tak melihatnya. Ada. 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 49 CATATAN MASA KECIL, 3 Ia turun dari ranjang lalu bersijingkat dan membuka jendela lalu menatap bintang-bintang seraya bertanya-tanya apa gerangan yang di luar semesta dan apa gerangan yang di-luar semesta dan terus saja menunggu sebab serasa ada yang akan lewat memberitahukan hal itu padanya dan ia terus bertanya-tanya sampai akhirnya terdengar ayam jantan berkokok tiga kali dan ketika ia menoleh nampak ibunya sudah berdiri di belakangnya berkata “biar kututup jendela ini kau tidurlah saja setelah semalam suntuk terjaga sedang udara malam jahat sekali perangainya? 1971 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 50 AKUARIUM kau yang mengatakan matanya ikan! kau yang mengatakan matanya dan rambutnya dan pundaknya ikan! kau yang mengatakan matanya dan rambutnya dan pundaknya dan lengannya dan dadanya dan pinggulnya dan pahanya ikan! “Aku adalah air”, teriakmu “adalah ganggang adalah lumut adalah gelembung udara adalah kaca adalah…” 1972 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 51 SAJAK, 1 Begitulah, kami bercakap sepanjang malam berdiang pada suku kata yang gosok menggosok dan membara. “Jangan diam, nanti hujan yang menge pung kita akan menidurkan kita dan menyelimuti kita dengan kain putih panjang lalu mengunci pintu kamar ini!” Baiklah, kami pun bercakap sepanjang malam “Tetapi begitu cepat kata demi kata menjadi abu dan mulai beterbangan dan menyesakkan udara dan…” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 52 SAJAK, 2 Telaga dan sungai itu kulipat dan kusimpan kembali dalam urat nadiku. Hutan pun gundul. Demikianlah maka kawanan kijang itu tak mau lagi tinggal dalam sajaksajakku sebab kata-kata di dalamnya berujud anak panaj yang dilepas oleh Rama. Demikianlah maka burung-burung tak betah lagi tinggal dalam sarang di selasela kalimat-kalimatku sebab sudah begitu rapat sehingga tak ada lagi tersisa ruang. Tinggal beberapa orang pemburu yang terpisah dari anjing mereka menyusur jejak darah, membalikkan dan menggeser setiap huruf kata-kataku, mencari binatang korban yang terluka pembuluh darahnya itu. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 53 DI KEBUN BINATANG Seorang wanita muda berdiri terpikat memandang ular yang melilit sebatang pohon sambil menjulur-julurkan lidahnya katanya kepada suaminya. “Alangkah indahnya kulit ular itu untuk tas dan sepatu!” Lelaki muda itu seperti teringat sesuatu, cempat-cepat menarik lengan istrinya meninggalkan tempat terkutuk itu. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 54 PERCAKAPAN MALAM HUJAN Hujan, yang mengenakan mantel, sepatu panjang, dan payung, berdiri di samping tiang listrik. Katanya kepada lampu jalan, “Tutup matamu dan tidurlah. Biar kujaga malam.” “Kau hujan memang suka serba kelam serba gaib serba suara desah; asalmu dari laut, langit, dan bumi; kembalilah, jangan menggodaku tidur. Aku sahabat manusia. Ia suka terang.” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 55 TELUR, 1 Ada sebutir telur tepat di tengah tempat tidurmu yang putih rapih. Kau tentu saja, terkejut ketika pulang malam-malam dan melihatnya di situ. Barangkali itulah telur yang kadang hilang kadang nampak di tangan tukang sulap yang kau tonton sore tadi. Barangkali telur itu sengaja ditaruh di situ oleh anak gadismu atau istrimu atau ibumu agar bisa tenteram tidurmu di dalamnya. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 56 TELUR, 2 dalam setiap telur semoga ada burung dalams etiap burung semoga ada engkau dalam setiap engkau semoga ada yang senantiasa terbang menembus silau matahari memecah udara dingin memuncak ke lengkung langit menukik melintas sungai merindukan telur 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 57 SEHABIS SUARA GEMURUH sehabis suara gemuruh itu yang tampak olehku hanyalah tubuhmu telanjang dengan rambut terurai menga pung dipermukaan air bening yang mengalir tenang – tak kausahut panggilanku 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 58 MUARA Muara yang tak pernah pasti sifatnya selalu mengajak laut bercakap. Kalau kebetulan dibawanya air dari gunug, katanya, “Inilah lambang cinta sejati, sumber denyut kehidupan” Kalau hanya sampah dan kotoran yang dimuntahkan ia berkata, “Tentu saja bukan maksudku mengotori hubungan kita yang suci, tentu saja aku tidak menghendaki sisa-sisa ini untukmu” Dan ketika pada suatu hari ada bangkai manusia tera pung di muara itu, di sana-sini timbul pusaran air, dan tepi-tepi muara itu tiba-tiba bersuara rebut, “Tidak! Bukan aku yang memberinya isyarat ketika ia tiba-tiba berhenti di jembatan itu dan, tanpa memejamkan mata, membiarkan dirinya terlempar ke bawah dan, sungguh, aku tak berhak mengusutnya sebab bahkan lubuk-lubukku, dan juga lubuk-lubukumu, tidaklah sedalam…” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 59 SEPASANG SEPATU TUA sepasang sepatu tua tergeletak di sudut sebuah gudang berdebu, yang kiri terkenang akan aspal meleleh, yang kanan teringat jalan berlumpur sehabis hujan – keduanya telah jatuh cinta kepada sepasang telapak kaki itu yang kiri menerka mungkin besok mereka dibawa ke tempat sampah dibakar bersama seberkas surat cinta, yang kanan mengira mungkin besok mereka diangkut truk sampah itu dibuang dan dibiarkan membusuk bersama makanan sisa sepasang sepatu tua saling membisikkan sesuatu yang hanya bisa mereka pahami berdua 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 60 DI BANJAR TUNJUK, TABANAN pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rama yang mengiringkan Sita memasuki hutan penukul gendang itu membayangkan dirinya Garuda yang mencengkram Sita diantara kuku-kukunya pemukul gendang itu membayangkan dirinya Rawana yang memperkosa Sita di Taman Raja ketika gong dipukul keras di tengah cerita ia tiba-tiba merasa beratus-ratus kera berloncatan menge pungnya dan merobek-robek tubuhnya dan menguburkannya di bawah tumpukan batu di dasar laut 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 61 SUNGAI, TABANAN kami berhenti dan memandang kea rah sungai para perempuan sedang menebarkan bibit-bibit kabut di arus yang riciknya terdengar dari kejauhan kami berteriak, “apa nama sungai itu?”, tetapi hanya tawa mereka menyahut, berderai dan ketika kami mencapai tepi sungai, para perempuan itu ternyata tak ada – dan kabut menutupi arus sungai sehingga kami tak tahu ia mengalir ke selatan atau utara 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 62 KEPADA I GUSTI NGURAH BAGUS dewa telah menciptakan butir-butir padi dewa telah menciptakan bunga dewa telah menciptakan gadis yang menunjang untaian padi di kepala dan menyematkan bunga di telinga dewa akan berdiri di gerbang pura pada suatu hari nanti dan menegur perempuan yang berjalan lewat itu katanya “perempuan tua, tumpuklah padimu di lumbung dan hanyutkan bunga itu di sungai; biar kuperintahkan orang-orang itu membuat api di tanah lapang agar terbakar sempurna jasadmu mengabu” 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 63 BOLA LAMPU Sebuah bola lampu menyala tergantung dalam kamar. Lelaki itu menyusun jari-jarinya dan baying-bayangnya tampak bergerak di dinding “Itu kijang!”, katanya. “Hore!” teriak anak-anakknya, “sekarang harimau!” “Itu harimau.” Hore! “Itu gajah, itu babi hutan, itu kera…” Sebuah bola lampu ingin memejamkan dirinya. Ia merasa berada di tengah hutan. Ia bising mendengar hangar binger kawanan binatang buas itu. Ia tiba-tiba merasa asing dan tak diperhatikan. 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 64 PADA SUATU PAGI HARI Maka pada suatu pagi hari ia ingin sekali menangis sambil berjalan tunduk sepanjang lorong itu. Ia ingin pagi itu hujan turun rintik-rintik dan lorong sepi agar ia bisa berjalan sendiri saja sambil menangis dan tak ada orang bertanya kenapa. ia tidak ingin menjerit-jerit berteriak-teriak mengamuk memecahkan cermin membakar tempat tidur. Ia hanya ingin menangis lirih saja sambil berjalan sendiri dalam hujan rintik-rintik di lorong sepi pada suatu pagi.\ 1973 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 65 BUNGA, 1 i Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia rekah di tepi padang waktu hening pagi terbit; siangnya cuaca berdenyut ketika nampak sekawanan gagak terbang berputar-putar di atas padang itu; malam hari. ia mendengar seru serigala. Tapi katanya, “Takut?” Kata itu milik kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput, pilihan dewata!” ii Bahkan bunga rumput itu pun berdusta. Ia kembang di sela-sela geraham batu-batu gua pada suatu pagi, dan malamnya menyadari bahwa tak nampak apa pun dalam gua itu dan udara ternyata sangat pekat dan tercium bau sisa bangkai dan terdengar seperti ada embik terpatah dan ia membayangkan hutan terbakar dan setelah api…. Teriaknya, “Itu semua pemandangan bagi kalian saja, para manusia. Aku ini si bunga rumput pilihan dewata!” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 66 BUNGA, 2 mawar itu tersirap dan hampir berkata jangan ketika pemilik taman memetiknya hari ini; tak ada alas an kenapa ia ingin berkata jangan sebab toh wanita wanita itu tak mengenal isyaratnya – tak ada alas an untuk memahami kenapa wanita yang selama ini rajin menyiraminya dan selalu menatapnya dengan pandangan cinta itu kini wajahnya anggun dan dingin, menanggalkan kelopaknya selembar demi selembar dan membiarkan berjatuhan menjelma pendar-pendar di permukaan kolam 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 67 BUNGA, 3 seuntai kuntum melati yang di ranjang itu sudah berwarna coklat ketika tercium udara subuh dan terdengar ketukan di pintu tak ada sahutan seuntai kuntum melati itu sudah kering wanginya mengeras di empat penjuru dan menjelma kristal-kristal di udara ketika terdengar ada yang memaksa membuka pintu lalu terdengar seperti gema “hai siapa gerangan yang membawa pergi jasadku?” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 68 PUISI CAT AIR UNTUK RIZKI angin berbisik kepada daun jatuh yang tersangkut kabel telpon itu, “aku rindu, aku ingin mempermainkanmu!” kabel telpon memperingatkan angina yang sedang memungut daun itu dengan jari-jarinya gemas, “jangan brisik, menggangu hujan!” hujan meludah di ujung gang lalu menatap angina dengan tajam, hardiknya, “lepaskan daun itu!” 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 69 LIRIK UNTUK LAGU POP jangan pejamkan matamu, aku ingin tinggal di hutan yang gerimis – pandangmu adalah seru butir air tergelincir dari duri mawar begitu nyaring!; swaramu adalah kertap bulu burung yang gugur begitu hening! aku pun akan memecah pelahan dan bertebaran dalam hutan; berkilauan serbuk dalam kabut – nafasmu adalah goyang anggrek hutan yang menggelepak begitu tajam! aku akan berhamburan dalam grimis dalam seru butir air dalam kertap bulu burung dalam goyang anggrek – ketika hutan mendadak gaib jangan pejamkan matamu; 1975 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 70 SANDIWARA, 2 untuk Putu Wijaya Mula-mula adalah seorang lelaki tua di panggung, di atas kursi goyang. Meja, kursi, kopi yang sudah dingin, lampu gantung, dan surat-surat bertebaran di lantai bergoyang-goyang. Ia bergoyang sambil mengutuk beberapa nama yang tak kita kenal, mengejek kursi dan surat-surat itu – dan kita ketawa. Mendadak ia berdiri dan masuk – dari dalam ia memanggil-manggil nama, tanpa sahutan. Kursi masih bergoyang-goyang. Tapi kenapa kita tertawa? Bahkan ketika suaranya terdengar semakin serak dan lampu semakin redup – kursi itu tetap bergoyang. Kita penonton, harus pulang sebelum sempat lagi ketawa. 1976 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 71 LIRIK UNTUK IMPROVISASI JAZZ “Sayangku yang jauh, entah berapa kali telah kukelilingi taman kota ini; telah tergolek di atas rumput, sobekan – sobekan kertas, embun, pecahan botol; telah bermantel sinar bintang-bintang dan angina yang panjang nafasnya; aku tak pernah tidur, menunggumu. Si Tua, yang suka lewat sambil meludah dan menanyakan waktu itu, selalu mengatakan kau tak pernah mengingkari janjimu, tapi anjing kampong yang matanya selalu mengantuk itu tak pernah menyahut siulanku!” Ia merasa seperti menyusuri lingkaran tak menemukan bangku panjang. 1978 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 72 YANG FANA ADALAH WAKTU Yang fana adalah waktu. Kita abadi memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari kita lupa untuk apa. “Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?” tanyamu. Kita abadi. 1978 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 73 TUAN Tuan Tuhan, bukan? Tunggu sebentar, saya sedang keluar. 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 74 CERMIN, 1 cermin tak pernah berteriak; ia pun tak pernah meraung, tersedan, atau terisak, meski apa pun jadi terbalik di dalamnya; barangkali ia hanya bisa bertanya mengapa kau seperti kehabisan suara? 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 75 CERMIN, 2 mendadak kau mengabut dalam kamar, mencari-cari dalam cermin; tapi cermin buram kalau kau entah di mana, kalau kau mengembun dan menempel di kaca, kalau kau mendadak menetes dan tepercik ke mana-mana, dan cermin menangkapmu sia-sia 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 76 DALAM DIRIKU Because the sky is blue It makes me cry The Beatles dalam diriku mengalir sungai panjang, darah namanya; dalam diriku menggenang telaga darah; sukma namanya; dalam diriku meriak gelombang sukma, hidup namanya! dank arena hidup itu indah, aku menangis sepuas-puasnya 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 77 KUHENTIKAN HUJAN kuhentikan hujan. Kini matahari merindukanku, mengangkat kabut pagi pelahan – ada yang berdenyut dalam diriku menembus tanah basah, dendam yang dihamilkan hujan dan cahaya matahari. Tak bisa kutolak matahari memaksaku menciptakan bunga-bunga. 1980 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 78 BENIH “Cintaku padamu, Adinda,” kata Rama, “adalah laut yang pernah bertahun memisahkan kita, adalah langit yang senantiasa memayungi kita, adalah kawanan kera yang di gua Kiskenda. Tetapi….” Sita yang hamil itu tetap diam sejak semula, “kau telah tinggal dalam sangkar raja angkara itu bertahun-tahun lamanya, kau telah tidur di ranjangnya, kau bukan lagi rahasia baginya.” Sita yang hamil itu tetap diam; pesona. “Tetapi Raksasa itu ayahandamu sendiri, benih yang menjadikanmu, apakah ia juga yang membenihimu, apakah….”Sita yang hamil itu tetap diam, mencoba menafsirkan kehendak para dewa. 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 79 DI TANGAN ANAK-ANAK Di tangan anak-anak, kertas menjelma perahu Sinbad yang tak takluk kepada gelombang, menjelma burung yang jeritnya membukakan kelopak-kelopak bunga di hutan; di mulut anak-anak, kata menjelma Kitab Suci. “Tuan, jangan kau ganggu permainanku ini” 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 80 DI ATAS BATU ia duduk di atas batu dan melempar-lemparkan kerikil ke tengah kali ia gerak-gerakan kaki-kakinya di air sehingga memercik ke sana kemari ia pandang sekeliling matahari yang hilang-timbul di sela goyang daun-daunanan, jalan setapak yang mendaki tebing kali, beberapa ekor ca pung – ia ingin yakin bahwa ia benar-benar berada di sini 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 81 ANGIN, 3 “Seandainya aku bukan….” Tapi kau angina! Tapi kau harus tak letih-letihnya beringsut dari sudut ke sudut kamar, menyusup di celah-celah jendela, berkelebat di pundak bukit itu. “Seandainya aku….” Tapi kau angin! Nafasmu tersengal setelah sia-sia menyampaikan padaku tentang perselisihan antara cahaya matahari dan warna-warna bunga “Seandainya…” Tapi kau angina! Jangan menjerit; semerbakmu memekakkanku. 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 82 CARA MEMBUNUH BURUNG bagaimanakah cara membunuh burung yang suka berkukuk bersama teng-teng jam dinding yang tergantung sejak kita belum dilahirkan itu? soalnya ia bukan seperti burung-burung yang suka berkicau setiap pagi meloncat ke cahaya di sela-sela ranting pohon jambu ah dunia di antara bingkai jendela! soalnya ia suka mengusikku tengah malam, padahal aku sering ingin sendirian soalnya ia baka 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 83 SIHIR HUJAN Hujan mengenal baik pohon, jalan, dan selokan – swaranya bisa dibeda-bedakan; kau akan mendengarnya meski sudah kaututup pintu atau jendela. Meski pun sudah kaumatikan lampu. Hujan, yang tahu benar membeda-bedakan, telah jatuh di pohon, jalan, dan selokan – menyihirmu agar sama sekali tak sempat mengaduh waktu menangkap wahyu yang harus kau rahasiakan 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 84 METAMORFOSIS ada yang sedang menanggalkan pakaianmu satu demi satu, mendudukanmu di depan cermin, dan membuatmu bertanya. “tubuh siapakah gerangan yang kukenakan ini?” ada yang sedang diam-diam menulis riwayat hidupmu, menimbang-nimbang hari lahirmu, mereka-reka sebab-sebab kematianmu – ada yang sedang diam-diam berubah menjadi dirimu 1981 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 85 TELINGA “Masuklah ke telingaku.” bujuknya. Gila ia digoda masuk ke telinganya sendiri agar bisa mendengar apa pun secara terperinci – setiap kata, setiap huruf. bahkan letupan dan desis yang menciptakan suara. “Masuklah.” bujuknya. Gila! Hanya agar bisa menafsirkan sebaikbaiknya apa pun yang dibisikannya kepada diri sendiri 1982 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 86 AKU INGIN aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu aku ingin mencintaimu dengan sederhana dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 87 SAJAK-SAJAK EMPAT SEUNTAI /1/ kukirim padamu beberapa patah kata yang sudah langka – jika suatu hari nanti mereka mencapaimu, rahasiakan, sia-sia aja memahamiku /2/ ruangan yang ada dalam sepatah kata ternyata mirip rumah kita ada gambar, bunyi, dan gerak-gerik di sana – hanya saja kita diharamkan menafsirkannya /3/ bagi yang masih eprcaya pada kata diam pusat gejolaknya, padam inti kobarnya – tapi kapan kita pernah memahami laut? memahami api yang tak hendak surut? /4/ apakah yang kita dapatkan di luar kata taman bunga? ruang angkasa? di taman, begitu banyak yang tak tersampaikan di angkasa, begitu hakiki makna kehampaan /5/ apalagi yang bisa ditahan? beberapa kata bersikeras menerobos batas kenyataan – setelah mencapai seberang, masihkah bermakna, bagimu, segala yang ingin kau sampaikan? /6/ dalam setiap kata yang kau baca selalu ada huruf yang hilang – kelak kau pasti akan kembali menemukannya di sela-sela kenangan penuh ilalang 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 88 DI RESTORAN Kita berdua saja, duduk. Aku memesan ilalang panjang da bunga rumput – kau entah memesan apa. Aku memesan batu di tengah sungai terjal yang deras – kau entah memesan apa. Tapi kita berdua saja, duduk. Aku memesan rasa sakit yang tak putus dan nyaring lengkingnya, memesan rasa lapar yang asing itu. 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 89 DALAM DOAKU dalam doaku subuh ini kau menjelma langit yang bersalaman tak memejamkan mata, yang meluas bening siap menerima cahaya pertama, yang melengkung hening karena akan menerima suara-suara ketika matahari mengambang tenang di atas kepala, dalam doaku kau menjelma pucuk-pucuk cemara hijau senantiasa, yang tak henti-henti mengajukan pertanyaan muskil kepada angina yang mendesau entah dari mana dalam doaku sore ini kau menjelma seekor burung gereja yang mengibas-ngibaskan bulunya dalam gerimis, yang hinggap di ranting dan mengugurkan bulu-bulu bunga jambu, yang tiba-tiba gelisah dan terbang lalu hinggap di dahan mangga itu magrib ini dalam doaku kau menjelma angina yang turun sangat perlahan dari nun di sana, bersijingkat di jalan kecil itu, menyusup di celah-celah jendela dan pintu, dan menyentuh-nyentuhkan pipi dan bibirnya di rambut, dahi, dan bulu-bulu mataku dalam doa malamku kau menjelma denyut jantungku, yang dengan sabar bersitahan terhadap rasa sakit yang entah batasnya, yang setia mengusut rahasia demi rahasia, yang tak putus-putusnya bernyanyi bagi kehidupanku aku mencintaimu, itu sebabnya aku takkan pernah selesai mendoakan keselamatanmu 1989 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 90 PADA SUATU HARI NANTI pada suatu hari nanti jasadku tak akan ada lagi tapi dalam bait-bait sajak ini kau takkan kurelakan sendiri pada suatu hari nanti suaraku tak terdengar lagi tapi di antara larik-larik sajak ini kau akan tetap kusiasati pada suatu hari nanti impianku pun tak dikenal lagi namun di sela-sela huruf sajak ini kau takkan letih-letihnya kucari 1991 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 91 SITA SIHIR Terbebas juga akhirnya aku – entah dari cakar Garuda atau lengan Dasamuka Sendiri, di menara tinggi, kusaksikan di atas langit yang tak luntur dingin-birunya dan di bawah api yang disulut Rama – berkobar bagai rindu abadi “Terjunlah, Sita,” bentak-Mu, “agar udara, air, api, dan tanah, kembali murni.” Tapi aku ingin juga terbebas dari sihir Rama. 1990 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 92 BATU /1/ Aku pun akhirnya berubah menjadi batu. Kau pahatkan, “Di sini istirah dengan tenteram sebongkah batu, yang pernah ebrlayar ke negerinegeri jauh, berlabuh di Bandar-bandar besar, dan dikenal di delapan penjuru angina, akhirnya ia pilih kutukan, ia pilih ketentraman itu. Di sini.” Tetapi kenapa kaupahat juga dan tidak kaubiarkan saja aku sendiri, sepenuhnya? /2/ Jangan kau dorong aku ke atas bukit itu kalau hanya untuk berguling kembali ke lembah ini. Aku tak mau terlibat dalam helaan nafas, keringat, harapan, dan sia-siamu. Jangan kau dorong aku ke bukit itu; aku tak tahan deigerakkan dari diamku ini. Aku batu, dikutuk untuk tenteram. /3/ Di lembah ini aku tinggal menghadap jurang, mencoba menafsirkan rasa haus yang kekal ketenteraman itu, sekarat itu Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 93 1991 MAUT maut dilahirkan waktu fajar ia hidup dari mata air, itu sebabnya ia tak pernah mengungkapkan seluk beluk karat yang telah mengajarinya bertarung melawan hidup; ia juga takkan mau menjawab teka-teki senjakala yang telah menahbiskannya menjadi penjaga gerbang itu maut mencintai fajar dan mata air, dengan tulus 1991 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 94 HUJAN, JALAK, DAN DAUN JAMBU Hujan turun semalaman. Paginya jalak berkicau dan daun jambu bersemi; mereka tidak mengenal gurindam dan peribahasa, tapi menghayati adapt kita yang purba, tahu kapan harus berbuat sesuatu agar kita, manusia, merasa bahagia. Mereka tidak pernah bisa menguraikan hakikat kata-kata mutiara, tapi tahu kapan harus berbuat sesuatu, agar kita merasa tidak sepenuhnya sia-sia. 1992 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 95 AJARAN HIDUP hidup telah mendidikmu dengan keras agar bersikap sopan – misalnya buru-buru melepaskan topi atau sejenak menundukkan kepala – jika ada jenazah lewat hidup juga telah mengajarmu merapikan rambutmu yang sudah memutih, membutlkan letak kacamatamu, dan menggumamkan beberapa larik doa jika ada jenazah lewat agar masing dianggap menghormati lambang kekalahannya sendiri 1992 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 96 TERBANGNYA BURUNG terbangnya burung hanya bisa dijelaskan dengan bahasa batu bahkan cericitnya yang rajin memanggil fajar yang suka menyapa hujan yang melukis sayap kupu-kupu yang menaruh embun di daun yang menggoda kelopak bunga yang paham gelagat cuaca hanya bisa disadur ke dalam bahasa batu yang tak berkosa kata dan tak bernahu lebih luas dari fajar lebih dalam dari langit lebih pasti dari makna sudah usai sebelum dimulai dan sepenuhnya abadi tanpa diucapkan sama sekali 1994 Manuskrip puisi “Hujan Bulan Juni” Sapardi Djoko Damono 97
kumpulan puisi sapardi djoko damono pdf