SobatFolderdesa dapat memanfaatkan jenis tanaman berikut untuk menciptkan bentuk dan warna dengan teknik ecoprint. 1. Kersen. Memanfaatkan tanaman kersen untuk ecoprint menjadi hal yang baru bagi masyarakat. Karena, ternyata tanaman tropis yang mudah tumbuh di pinggir jalan atau pada retakan tembok mampu menghasilkan corak ecoprint yang indah.
Teknikecoprint memanfaat bahan-bahan alami dari tumbuhan sekitar sebagai sumber pola dan warna. Bahan-bahan ini bisa berasal dari bunga, daun, batang, dan bagian tumbuhan yang lain. Tiap bagian apalagi dari spesies yang beragam akan menghasilkan warna yang beragam pula. Warna akan semakin jelas dan mudah keluar pada daun atau bunga yang masih
Siswabelajar membuat ecoprint. Tujuan belajar yang ingin dicapai yaitu siswa mampu mengenali dan memanfaatkan daun, bunga dan berbagi tumbuhan di lingkungan sekitar untuk belajar keterampilan baru (ecoprint) yang bermanfaat untuk dirinya. Ecoprint adalah teknik memberi pola pada kain dengan menggunakan daun, bunga, ranting, dan pewarna alam.
LahirnyaEcoprint Wanagama. Wanagama sebagai hutan pendidikan dengan luas 622,25 Ha memiliki jenis tanaman baik asli maupun hasil eksplorasi nusantara. Dengan adanya potensi ini maka dibentuklah tim untuk menggali potensi keanekaragaman demi mendukung eco-fashion Indonesia. Tim berasal dari mahasiswa yang tergabung dalam Program Kreativitas
TEMPOCO, Jakarta - Kelompok mahasiswa Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Pemberdayaan Masyarakat Universitas Gadjah Mada (KKN-PPM UGM) melakukan program pelatihan pembuatan batik ecoprint kepada ibu-ibu yang tergabung dalam Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) Dusun Padakan Tegalarum Gatak, Janti, Polanharjo, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Sabtu, 30 Juli 2022.
PemanfaatanBahan Alami Untuk Pembuatan Ecoprint (Irmayanti, dkk.) 44 Gambar 1. Penggunaan Daun dan Bunga sebagai bahan alami pembuatan ecoprint Sumber: Saptutyningsih, dkk, 2019 Pada dasarnya, ecoprint telah dikenal sejak dulu, namun ecoprint mengalami peningkatan pesat pada saat ini karena dianggap memiliki nilai ekonomis dan mudah
iegK1. Malang, - Dosen Universitas Muhammadiyah Malang UMM Wehandaka Pancapalaga mengembangkan produk tekstil dengan menggunakan bahan ekstrak Mangrove. Hasilnya, dia bisa menciptakan teknik pewarnaan dengan membuat berbagai macam produksi seperti tas, pakaian, hingga sepatu ecoprint menggunakan tanaman mangrove. Wehandaka mengatakan tanaman mangrove bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami ecoprint. Karena ecoprint merupakan salah satu jenis teknik mencetak yang dapat dijadikan alternatif ramah lingkungan yang bisa mengurangi kerusakan lingkungan serta ekosistem akibat limbah kimia pabrik tekstil. Maka dari itu dia melakukan penelitian tanaman mangrove untuk bahan ecoprint."Setelah kami teliti Mangrove bisa dijadikan zat pewarna alami untuk ecoprint," kata Wehandaka, Rabu 7/6/2023. Menurut Wehandaka, ide meneliti Mangrove untuk bahan pewarna alami atau ecoprint muncul sejak tahun 2019. Dari ide itulah, dirinya langsung melakukan penelitian. Bahkan, penelitian yang dilakukannya pun sangat rinci, mulai dari pemilihan bahan hingga proses produksi. Hal itu berefek pada produk yang bagus dan bermanfaat bagi masyarakat. "Hasil dari ekstrak mangrove tidak mudah luntur. Sehingga bagus untuk pewarna," ujarnya. Tanaman mangrove bisa dimanfaatkan sebagai pewarna alami ecoprint. Dia menjelaskan adapun sistem pembakaran yang digunakan, yakni melalui mesin pengukus atau steam yang tingkat panasnya lebih terjamin agar warna yang dihasilkan juga lebih merata. "Suhu yang kami gunakan ada pada rentang 75 derajat dan dikukus selama dua jam. Apabila suhu yang digunakan terlalu tinggi, kulit yang digunakan untuk ecoprint akan rusak. Sementara kalau suhunya terlalu rendah, warna daun dan bunga tidak akan bisa melekat pada kulit,” terangnya. Wehandaka menambahkan dirinya sangat serius mendalami penelitian ecoprint dari tanaman Mangrove. Ini untuk membantu pengrajin kulit di Desa Bululawang yang masih monoton menggunakan warna hitam polos. "Penelitian ecoprint kami ini sedang proses didaftarkan untuk paten sederhana. Namun sembari menunggu, kami juga mengabadikannya dalam beberapa event seperti program matching fund bersama UMKM Bululawang Malang," ucap dia. Wehandaka berharap penelitian mengenai ecoprint dapat diterima baik oleh masyarakat. Dengan harapan bisa membantu pengrajin kulit agar bisa lebih kreatif. Utamanya dalam hal warna, teknik, dan cara yang elbih ramah lingkungan. "Untuk selanjutnya, saya sedang mencoba mengombinasi antara ecoprint dan ukiran agar hasil akhirnya akan seperti daun yang nampak timbul. Sehingga makin terlihat menarik dan bagus," pungkas Wehandaka. Saksikan live streaming program-program BTV di sini Telkomsel Jaga Bumi Tanam Pohon di Kawasan Hutan Mangrove Indonesia NASIONAL HNSI Sebut Hutan Mangrove Berpotensi Tambah PAD NTB NUSANTARA Krakatau International Port Tanam Bibit Mangrove di Karangantu EKONOMI Serentak! Jokowi dan TNI Tanam 1 Juta Pohon Mangrove NASIONAL Tanam Sejuta Pohon Mangrove, TNI Meraih Rekor Muri MEGAPOLITAN IWIP dan Masyarakat Berkolaborasi Lindungi Kawasan Pesisir NUSANTARA
Kompas TV regional jawa timur Sabtu, 10 Juni 2023 1612 WIB MALANG, - Kerajinan ecoprint ramah lingkungan dibuat oleh dosen dan mahasiswa dari Fakultas Pertanian Peternakan Universitas Muhammadiyah Malang. Mereka menggunakan pewarna alami, hingga proses produksi dengan cara dikukus. Sebelumnya mereka telah melakukan penelitian terlebih dahulu. Mulai pemilihan bagan, hingga proses produksi yang menghasilkan pewarnaan lebih tajam serta merata. Untuk pewarnaan mereka menggunakan ekstra mangrove sehingga tidak mudah luntur. Kemudahan dikukus dengan steam, menggunakan suhu pengukuran yang tepat. "Pengukusan zat warnanya akan keluar. Bahan bahan yg kita gunakan adalah semua pewarna alami, warnai kain pakai mangrove pohon pohon di hutan indonesia kita gali terus. Kemudian pewarna motif pada kulit ada penggunaan daun atau bunga di sekitar. Limbahnya daun yang banyak digunakan pupuk, artinya ecoprint akan membuat limbah zero atau tidak ada limbah" Kata Wehandaka, dosen pembimbing. Penelitian untuk kreasi ecoprint ini dilakukan secara rinci. Termasuk pemilihan jenis mordan. Hasilnya mordan tawas memberikan hasil lebih maksimal. Sementara kulit yang digunakan adalah kulit domba samak jenis crust. Sumber Kompas TV BERITA LAINNYA
› Nusantara›Daun Jati hingga Teh, Khazanah... Para pembuat ”ecoprint” di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeksplorasi beragam tanaman di sekitar mereka untuk berkreasi. Aneka jenis daun, bunga, kayu, dan kulit buah dimanfaatkan untuk menghasilkan karya ”ecoprint”. Para pegiat ecoprint di Daerah Istimewa Yogyakarta mengeksplorasi beragam tanaman di sekitar mereka untuk berkreasi. Aneka jenis daun, bunga, kayu, dan kulit buah dimanfaatkan menghasilkan karya ecoprint yang penuh gaya. Riset terus dilakukan untuk menambah khazanah pewarna FIRDAUS Anggota komunitas Shero menunjukkan daun jati yang biasa digunakan untuk memberi motif dan warna pada kain dengan teknik ecoprint, Jumat 13/8/2021, di sekretariat kelompok itu di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Shero merupakan komunitas beranggotakan para ibu di Dlingo yang aktif memproduksi karya fashion dengan teknik Fandayati 40 menunjukkan pohon jati yang di halaman sebuah rumah di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta DIY. Dia lalu memetik dua helai daun pohon tersebut. ”Pohon jati memang banyak ditemukan di Dlingo. Daun jati ini sering kami pakai untuk membuat ecoprint,” katanya, Jumat 13/8/2021 sore. Inggit merupakan anggota komunitas Shero yang beranggotakan 20 perempuan dari enam desa di Kecamatan Dlingo. Komunitas Shero—kependekan dari She is a Hero—aktif memproduksi karya mode dengan teknik ecoprint. Ecoprint merupakan teknik memberi motif dan warna pada kain, kulit, kertas, atau medium lain dengan bahan-bahan Inggit, Shero terbentuk sejak 2018 setelah ada pelatihan membuat ecoprint untuk para ibu di Dlingo. Setelah pelatihan itu, mereka mulai aktif memproduksi karya ecoprint dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman di lingkungan sekitar. Selain daun jati, ada banyak jenis daun lain di Dlingo yang dimanfaatkan untuk memberi motif pada kain dengan teknik juga ”Ecoprint”, Mencetak Kain dengan Motif AlamiKOMPAS/HARIS FIRDAUS Anggota komunitas Shero memetik daun jati yang biasa digunakan untuk memberi motif dan warna pada kain dengan teknik ecoprint, Jumat 13/8/2021, di sekretariat kelompok itu di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa jenis daun itu, misalnya, ialah daun jenitri, lanang, jarak kepyar, jarak wulung, kenikir, kelengkeng, hingga daun columbus atau wedusan. Selain itu, para anggota Shero juga memanfaatkan aneka jenis bunga, seperti bunga waru, bunga ketul, dan bunga pewarnaan kain, para anggota Shero juga memanfaatkan bahan-bahan alami, misalnya kayu tegeran, kulit kayu tingi, kulit buah jolawe, kayu jambal, dan kulit kayu mahoni. Sebagian tanaman yang dipakai untuk ecoprint itu tumbuh secara alami di Dlingo, tetapi ada juga yang sengaja tanaman yang dipakai untuk ecoprint itu tumbuh secara alami di Dlingo, tetapi ada juga yang sengaja itu, anggota Shero kadang juga memanfaatkan limbah kayu dari usaha mebel di Dlingo untuk membuat ecoprint. ”Di kawasan Dlingo kan banyak pembuat mebel yang memakai kayu mahoni sehingga limbahnya banyak. Jadi, kami tinggal minta ke perajin mebel,” ujar menuturkan, ada tiga jenis teknik ecoprint yang dipraktikkan oleh komunitas tersebut. Tiga teknik itu adalah teknik ecoprint dasar, medium, dan botanical spring. Dalam teknik dasar, kain hanya diberi motif dengan daun atau bunga, tetapi tidak diwarnai sehingga dasar kain tetap berwarna FIRDAUS Perbandingan daun jati yang masih segar dengan motif daun jati yang dicetak pada kain primisima dengan teknik ecoprint. Kain ecoprint itu merupakan karya anggota komunitas Shero yang beranggotakan para ibu di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto diambil pada Jumat 13/8/2021.Sementara itu, dalam teknik medium, kain tak hanya diberi motif, tetapi juga diberi pewarna dengan bahan-bahan alam. Adapun dalam teknik botanical spring, dilakukan mordanting dengan bahan dan cara khusus sehingga menghasilkan motif daun atau bunga yang lebih jelas dan sempurna. Mordanting merupakan proses menyiapkan kain agar bisa menerima zat pewarna dengan Shero lainnya, Koni’ah 43, menjelaskan, proses pembuatan karya ecoprint sering memberi kejutan karena hasilnya tak terduga. Hal ini karena hasil pewarnaan dengan teknik ecoprint sering kali tidak sama meskipun menggunakan bahan pewarna alam dan teknik pewarnaan yang itu terjadi karena hasil pewarnaan dengan bahan alam dari tanaman dipengaruhi banyak hal, seperti usia tanaman dan lokasi tanaman tumbuh. ”Mau pakai daun jati terus pun, warna yang dihasilkan bisa berbeda-beda,” ujar Koni’ juga Rancak Jejak DedaunanKOMPAS/HARIS FIRDAUS Perbandingan daun jati yang masih segar dengan motif daun jati yang dicetak pada kain sifon dengan teknik ecoprint. Kain ecoprint itu merupakan karya anggota komunitas Shero yang beranggotakan para ibu di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Foto diambil pada Jumat 13/8/2021.Hasil pewarnaan itu juga bisa dipengaruhi jenis kain dan bahan yang dipakai untuk mordanting. Koni’ah mencontohkan, pembuatan ecoprint dengan daun jati pada kain katun primisima menghasilkan motif daun dengan warna ungu. Sementara itu, produksi ecoprint dengan daun jati di kain sifon menghasilkan motif daun berwarna wanagamaPengalaman para anggota Shero di Dlingo menunjukkan, ada banyak jenis tanaman di Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk membuat karya ecoprint yang ciamik. Potensi besar pengembangan ecoprint dengan tanaman lokal itu turut didukung pelbagai riset, salah satunya Universitas Gadjah Mada UGM, Yogyakarta, melalui tim Departemen Teknologi Hasil Hutan Fakultas 126 jenis daun itu, 90-100 daun di antaranya bisa menghasilkan warna sehingga berpotensi digunakan untuk membuat bulan lalu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM melakukan penelitian di Hutan Wanagama, Kabupaten Gunung Kidul, DIY, untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman di hutan tersebut yang berpotensi dijadikan bahan pembuatan ecoprint. Wanagama merupakan hutan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM dengan status kawasan hutan dengan tujuan khusus. Hutan itu memiliki luas 622,25 Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM Rini Pujiarti mengatakan, ada 126 jenis daun yang telah diteliti oleh tim tersebut. Dari 126 jenis daun itu, 90-100 daun di antaranya bisa menghasilkan warna sehingga berpotensi digunakan untuk membuat ecoprint. ”Kami baru melakukan penelitian awal. Hasil penelitian ini belum dipublikasikan, kami baru menyusun untuk publikasinya,” FIRDAUS Anggota komunitas Shero menunjukkan daun columbus atau wedusan yang biasa digunakan untuk memberi motif dan warna pada kain dengan teknik ecoprint, Jumat 13/8/2021, di sekretariat kelompok itu di Kecamatan Dlingo, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa memaparkan, berdasarkan penelitian itu, beberapa jenis daun di Wanagama yang bisa digunakan untuk ecoprint, misalnya, daun jati, eukaliptus, suplir, sonokeling, kaliandra, mindi, kersen, dan soka jawa. ”Setiap daun itu kami uji coba di laboratorium dengan teknik ecoprint yang dikukus. Lalu, kami lihat mana yang mengeluarkan warna dan mana yang tidak,” selanjutnya, Fakultas Kehutanan UGM juga akan melakukan penelitian lebih lanjut guna mengetahui ketahanan warna masing-masing daun. Mereka juga berencana meneliti potensi pemanfaatan daun yang telah mengering untuk membuat karya ecoprint. ”Ada mahasiswa saya yang akan meneliti untuk membandingkan daun basah dan daun kering seperti apa,” tutur daun kering bisa dipakai untuk ecoprint, Rini berharap, masyarakat bisa lebih banyak memanfaatkan daun yang telah mengering untuk pembuatan ecoprint. Dengan begitu, penggunaan daun segar untuk ecoprint bisa dikurangi. ”Harapannya, kalau misalnya daun kering bisa digunakan untuk ecoprint, masyarakat enggak perlu ambil daun-daun segar dari pohon,” juga Misteri Keindahan pada Lembaran Kain ”Ecoprint”KOMPAS/HARIS FIRDAUS Perbandingan daun columbus atau wedusan yang masih segar dengan motif daun columbus yang dicetak pada kain dengan teknik ecoprint. Kain ecoprint itu merupakan karya anggota komunitas Shero yang beranggotakan para ibu di Dlingo. Foto diambil pada Jumat 13/8/2021.Dosen Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM Vendy Eko Prasetyo menyatakan, penelitian itu merupakan bagian dari kegiatan pengabdian masyarakat yang dilaksanakan Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM. Dalam kegiatan itu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM ingin mengajak masyarakat yang tinggal di sekitar Hutan Wanagama mengembangkan produk ecoprint dengan memanfaatkan aneka jenis tanaman di pengembangan ecoprint bisa berjalan baik, dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi tanaman-tanaman di Wanagama yang cocok untuk membuat ecoprint. Selain itu, tim Departemen Teknologi Hasil Hutan UGM juga bekerja sama dengan salah satu produsen ecoprint ternama di Yogyakarta untuk melatih masyarakat sekitar Wanagama membuat Vendy, kegiatan pengabdian masyarakat itu akan berlangsung selama tiga tahun, yakni 2021-2023. Dengan kegiatan itu, masyarakat sekitar Hutan Wanagama diharapkan bisa mendapatkan manfaat dari pengolahan hasil hutan tanpa harus merusak lingkungan. ”Kami ingin mengembangkan strategi pengolahan hasil hutan yang bisa bermanfaat besar bagi masyarakat sekitar,” juga Eksplorasi Flora dalam ”Ecoprint”KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO Kain ecoprint yang dibuat dengan menggunakan daun Jenitri di tempat usaha Mergangsan, Yogyakarta, Minggu 22/8/2021. Kain ecoprint dibuat dengan memanfaatkan beraneka daun untuk membentuk pola untuk pewarnaUji coba pembuatan ecoprint dengan pewarna alam juga dilakukan kelompok usaha di Kampung Karangkajen, Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta. merupakan kelompok usaha yang bergerak di bidang pembuatan ecoprint. Kelompok itu beranggotakan sejumlah warga Karangkajen yang sebagian besar merupakan ibu-ibu rumah beberapa waktu terakhir, para anggota melakukan uji coba pewarnaan kain dengan daun teh. Salah seorang anggota Rubi Utami 42, menuturkan, pihaknya sedang membuat katalog warna alam menggunakan teh. Katalog warna teh itu diharapkan bisa menjadi acuan pembuatan karya ecoprint bagi pihak lain. ”Referensi katalog warna dari teh itu, kan, belum ada. Makanya, kami bikin katalog ini,” INDRA RIATMOKO Perbandingan kain ecoprint yang dibuat menggunakan daun truja dengan daun truja segar di tempat usaha Kampung Karangkajen, Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu 22/8/2021.Untuk membuat katalog tersebut, para anggota melakukan uji coba menggunakan sejumlah produk teh seduh yang dijual di pasaran dan biasa dikonsumsi oleh masyarakat. Merek teh seduh yang dipakai itu adalah Teh Gopek, Teh Pecut, Teh Dandang, Teh Poci Emas, dan Teh itu, mereka juga memakai daun teh dari Kebun Teh Nglinggo di Kabupaten Kulon Progo, DIY. “Kami memakai teh dari Kebun Teh Nglinggo juga karena itu satu-satunya kebun teh di DIY,” tutur karena itu, ada enam jenis teh yang digunakan oleh para anggota dalam pembuatan katalog tersebut. Enam jenis teh itu kemudian diuji coba menjadi pewarna di enam jenis kain, yakni kain primisima, kain doby, kain katun Jepang, kain katun sutra, kain rayon, dan kain INDRA RIATMOKO Perbandingan kain ecoprint yang dibuat menggunakan daun jenitri dengan daun jenitri segar di tempat usaha Kampung Karangkajen, Kelurahan Brontokusuman, Kecamatan Mergangsan, Kota Yogyakarta, Minggu 22/8/2021.Berdasarkan uji coba itu, setiap jenis teh ternyata menghasilkan karakter warna berbeda. Bahkan, satu produk teh juga akan menghasilkan karakter warna berbeda jika kain yang dipakai mencontohkan, hasil pewarnaan dengan Teh Gopek di kain primisima akan berbeda dengan pewarnaan Teh Gopek di kain viscose. Oleh karena itu, hasil uji coba yang dilakukan para anggota ternyata menghasilkan variasi warna yang sangat dan uji coba para pegiat ecoprint kian menguatkan kesimpulan bahwa Indonesia memiliki bahan alami yang sangat kaya untuk mendukung pengembangan pewarna alam. Pekerjaan rumah tersisa untuk meningkatkan kualitas produk dan pemahaman masyarakat agar produk-produk mode ramah lingkungan bisa semakin diterima pasar. EditorGregorius Magnus Finesso
Jakarta - Industri tekstil dikenal sebagai salah satu industri yang paling berdampak pada lingkungan. Banyaknya penggunaan bahan kimia berbahaya, energi yang dihabiskan untuk produksi, dan limbah yang dihasilkan merupakan masalah serius yang perlu diatasi. Menanggapi hal tersebut, industri tekstil kini berinovasi menjadi lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan, salah satunya melalui penemuan teknik ecoprint. Ecoprint adalah teknik tekstil yang menghasilkan pola atau gambar pada kain dengan menggunakan bahan-bahan alami seperti daun, bunga, dan kayu. Menyaksikan Keindahan Ecoprint Batik Cirebon Membentang Sampai Jauh Cerita Yenny Kolaborasi Dengan Penjahit Kembangkan Produk Baru Bernama Ecotik Teknik ini tidak hanya menciptakan pola yang indah dan unik, tetapi juga berdampak positif pada lingkungan. Founder Studio Kriya Tekstil, Riki Sugianto merupakan salah satu penggiat yang aktif menggelar kelas lokakarya bagi masyarakat yang berminat mempelajari teknik ecoprint. "Keuntungannya udah pasti dia 100 persen ramah lingkungan ya," kata Riki kepada saat diwawancarai pada kegiatan Wisata Rendah Karbon yang diselenggarakan Disparekraf DKI Jakarta, CarbonEthics, Bumi Journey, dan Jakarta Good Guide pada Sabtu, 29 April 2023. Ia melanjutkan, "Kedua juga, dia termasuk ke dalam sustainable karena bahan-bahannya ini kan terbaharui ya, jadi kita nggak merusak. Dan semuanya ini kalau kita buang ataupun hilang atau rusak, dia akan kembali ke alam juga." Riki mengajarkan teknik ecoprint di atas totebag kepada para peserta Wisata Rendah Karbon. "Totebag-nya juga dia akan mengurai. Makanya kita pemilihan bahannya harus yang bener-bener natural fiber, serat alami," jelas Ecoprint Mudah DilakukanFounder Studio Kriya Tekstil, Riki Sugianto menunjukkan hasil teknik ecoprint. Dok. DanieraBerbagai jenis daun dapat digunakan untuk teknik ecoprint. "Sebenarnya semua daun bisa, tapi harus kita coba dulu di kain. Karena nggak semua daun keluar warnanya," jelas Riki. Daun yang motifnya bagus untuk teknik ecoprint adalah daun singkong, daun kenikir, dan daun jati. Teknik ecoprint cukup mudah untuk dipelajari dan dipraktikkan. Pertama, kain atau totebag yang akan dijadikan alas ecoprint ditaruh di atas permukaan yang datar dan kokoh. Kemudian, taruh selembar plastik di bagian dalam totebag, taruh bagian tulang daun supaya menempel di kain dan tutup daun dengan selembar plastik lagi. Bagian penting dari teknik ecoprint adalah memukul daun ke totebag dengan palu yang terbuat dari kayu supaya warna dan motif daun menempel di kain. Menurut Riki, penting juga untuk mengetahui karakteristik daun yang digunakan. "Kenikir ini banyak airnya, kalau ditumbuk akan melebar, warnanya ke mana-mana. Jadi, lebih baik kain dibagi dua supaya warnanya kebagi dua,” ucap Riki sambil mempraktikkan. Setelah memukul daun di atas totebag, plastik penutup dan daun diangkat. Hasilnya akan memperlihatkan motif dan warna hijau daun yang Mengecek Keaslian KainLokakarya ecoprint bersama Studio Kriya Tekstil. Dok. DanieraTerdapat dua jenis totebag yang digunakan dalam kelas lokakarya ecoprint, yang satu berwarna kekuningan karena dicampur dengan tunjung, dan yang satu berwarna putih karena dicampur dengan tawas. "Karena kita menggunakan bahan alami, maka otomatis warnanya akan pudar. Jadi kita butuh ini untuk mengunci warna," ujar Riki. Totebag menggunakan bahan belacu yang warnanya sedikit cokelat buram, sehingga warnanya dibuat lebih cantik dengan membuatnya berwarna kuning atau putih. Menurutnya, tidak semua bahan kain cocok sebagai alas ecoprint. "Ada satu kain yang tidak bagus untuk ecoprint, yaitu drill, yang biasa digunakan untuk celana dan bahan-bahan seragam. Cara kita tau kain yang bagus atau nggak, kalau dibakar," ucap Riki. Teknik ini juga bermanfaat untuk mengetes apakah suatu kain berkualitas bagus atau tidak. Ia pun membakar empat jenis kain yang berbeda. Kain sutra, katun rayon, dan kain linen yang terbuat dari nabati berubah menjadi abu yang halus ketika dibakar. Sementara itu, kain drill hangus dan menjadi keras ketika dibakar. Lokakarya Terbuka Untuk UmumPeserta lokakarya ecoprint dalam kegiatan Wisata Rendah Karbon Disparekraf DKI Jakarta. Dok. DanieraStudio Kriya Tekstil sudah berjalan hampir tujuh tahun membuka kelas-kelas yang berhubungan dengan tekstil, yakni lokakarya ecoprint, shibori, dan tapestry. Mereka juga menjual produk shibori. Usaha yang dibuka sejak 2015 itu memiliki dua studio di Jakarta, yaitu di KANA Furniture, Kemang, dan Kokonut & Curtains di Senayan. "Kalau untuk workshop, kita juga pernah di luar kota, paling jauh itu di Surabaya sama Palembang," jelas Riki. Ia melanjutkan, "Biasanya kita diundang untuk acara-acara Dekranasda ataupun kegiatan-kegiatan perusahaan lainnya." Harga rata-rata kelas lokakarya ecoprint Studio Kriya Tekstil adalah sebesar Namun, dapat lebih murah tergantung jumlah peserta. Dengan harga tersebut, peserta kelas sudah dapat membawa pulang semua alat. Riki berkata, "Kelas-kelas kita itu semuanya terbuka untuk umum, nggak ada spesifikasi apa pun, semuanya terbuka." Ia senang banyak masyarakat yang antusias terhadap kelas ecoprintnya. Paling banyak, terdapat 1300 peserta dalam satu acara. Ke depannya, Studio Kriya Tekstil ingin fokus mengajari ecoprint ke sekolah-sekolah. "Khususnya sekolah TK atau sekolah-sekolah dasar karena menurut aku penting banget ngajarin hal-hal seperti ini, karena kan motorik, sensorik, itu penting buat anak-anak ya," ucap Riki. Macam-macam material fesyen berkelanjutan. dok. Yasni* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
jenis bunga untuk ecoprint